Perempuan Dalam Lukisan
Pertama kali terjun ke dunia tulis menulis, saya memulainya dengan fiksi. Asyik aja rasanya bisa menjadi tuhan atas tokoh-tokoh yang kuciptakan. Membentuk karakter mereka, mengarahkan mereka bahkan menjadi penentu nasib mereka.
Namun kini, saya tidak lagi terampil menjadi tuhan. Setelah lama vakum, kini saya justru merasa lebih bisa dan lebih sreg menulis nonfiksi. Bahkan, fiksi yang kubuat terasa sangat kaku, garing.
Ah, sudahlah. Nikmati saja tulisanku berikut. Tulisan yang kubuat saat belajar menulis fiksi di kelas Penulis Tangguh.
PEREMPUAN DALAM LUKISAN
“Sosok ini lagi” desahkuku pelan.
Untuk yang kesekian kalinya Bang Rama menghadirkan sosok perempuan dengan rambut sepunggung dalam lukisannya. Untuk kesekian kalinya pula Bang Rama melukiskannya tanpa menampilkan wajah wanita tersebut. Selalu tampak dari samping atau belakang, seperti kali ini.
Entah siapa wanita itu. Yang jelas bukan aku, istrinya. Aku tak pernah membiarkan rambutku tumbuh sepanjang itu. Meski bukan perempuan tomboy tapi aku tak suka berambut panjang. Menurutku aku masih bisa tampil anggun dan elegan dengan potongan rambut pendek. Untungnya aku kemudian berjodoh dengan Bang Rama. Seorang lelaki yang lebih suka melihat istrinya berambut pendek.
Sosok perempuan itu juga bukan Rahmi atau Riska, dua adik perempuan Bang Rama. Keduanya memang berambut panjang. Tapi itu bukan salah satu dari mereka. Mereka tak suka dilukis. Bang Rama pun tak pernah tertarik untuk menjadikan keduanya obyek lukisan.
Adapun kemungkinan kalau sosok itu adalah mantan ataupun perempuan masa lalu Bang Rama juga mustahil. Yang aku tahu, akulah perempuan pertama yang masuk dalam kehidupan asmaranya. Sebelum menikah, Bang Rama tidak pernah tertarik dengan perempuan manapun. Setidaknya itu yang dikatakannya dan disampaikan keluarganya ketika mereka mengutarakan niat untuk menjadikan aku bagian dari keluarga mereka.
“Kalau begitu, siapa dia?”
*
“Bukan siapa-siapa” Bang Rama terlihat enggan ketika kembali kutanya siapa sebenarnya sosok dalam lukisannya itu.
Jawaban yang sama untuk kesekian kalinya.
“Kalau bukan siapa-siapa lalu mengapa ia selalu hadir dalam lukisanmu?” desakku.
Aku sudah bertekad hari ini harus mendapatkan jawaban atas tanya yang membebani pikiranku. Lelah rasanya sekian lama didera rasa penasaran akan sosok tersebut.
Bang Rama tak menghiraukanku. Ia kembali menghadap laptopnya. Mengerjakan sisa pekerjaan kantor yang dibawanya ke rumah.
Aku terus memburunya.
“Tidak penting. Sania, dengar aku sekali lagi, tidak penting. Titik” suara Bang Rama mulai tinggi. Lelaki tegap itu kemudian bangkit dari duduknya. Ditinggalkannya aku seorang diri.
Aku terpekur. Salahkah aku mendesaknya dengan cara seperti ini?
“Tidak, Sania. Kamu tidak salah. Kamu berhak mencari tahu siapa perempuan itu” hati kecilku membenarkan sikap yang telah kuambil.
Aku kemudian bangkit dari dudukku. Aku harus mencari tahu. Kalau Bang Rama menolak biar aku yang mencari tahu sendiri siapa perempuan itu sebenarnya.
Kuhampiri meja kerja suamiku yang baru saja ditinggalkannya. Kulirik sekilas laptopnya masih menyala. Gambar tabel berisi angka-angka terpampang di sana, pekerjaan kantor yang belum sempat diselesaikannya tadi.
Kuraih laci yang berada di bagian bawah meja. Tiga tingkatan laci tempat suamiku menyimpan barang-barangnya yang berhubungan dengan urusan kantor. Aku jarang membuka laci tersebut. Selain merasa tak berkepentingan aku juga khawatir jangan sampai menghilangkan sesuatu yang menurutku tidak berharga tapi ternyata sangat berharga. Seperti beberapa bulan yang lalu saat aku membuang beberapa sobekan kertas yang ada di laci tersebut. Ternyata sobekan kertas itu berisi catatan-catatan penting suamiku. Sejak itu aku tak pernah lagi menyentuh laci tersebut.
Di laci tingkat pertama aku tak menemukan hal-hal yang menarik. Isi laci itu masih sama seperti saat terakhir kubuka. Di laci kedua dan ketiga juga sama saja.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Bang Rama masuk dengan raut wajah kembali normal seperti tidak terjadi apa-apa barusan.
Giliran aku yang terkejut dibuatnya. Laci meja kerjanya yang terbuka membuatku bak pencuri yang tertangkap basah.
*
Perempuan itu telah berkhianat. Demi mengejar karier serta cinta laki-laki yang telah membesarkan namanya, ia tega meninggalkan suami dan anak lelakinya. Kariernya sebagai model memang sedang beranjak justru saat ia telah berumah tangga.
Suami yang sejak awal menentang kembalinya sang istri ke dunia model tak bisa berbuat banyak. Si istri sudah gelap mata. Popularitas serta gemerlapnya dunia yang sempat ditinggalkannya itu membuatnya rela melepaskan apa yang selama ini dimilikinya. Termasuk keutuhan rumah tangganya.
Keputusan bercerai kemudian menjadi jalan terbaik. Hak wali anak jatuh ke tangan suami. Si istri tak keberatan. Ia kini bebas melenggang, mengejar karier dan pujaan barunya tanpa hambatan.
Hampir tiga tahun sang suami menduda. Keluarga besarnya kemudian menjodohkannya dengan seorang janda beranak dua. Mereka hidup bahagia. Hingga kemudian sang suami meninggal dunia empat tahun yang lalu.
Bagaimana dengan si istri? Kariernya sebagai model semakin menanjak. Apalagi ia kemudian menetap di ibukota dan meninggalkan kota kecil tanah kelahirannya. Tak sampai setahun ia kemudian menikah dengan lelaki yang telah memuluskan jalannya sebagi model. Seorang pengusaha terkenal di negeri ini.
Meski di kehidupan barunya terlihat bahagia tapi sesungguhnya perceraian orang tua kandungnya menyisakan luka yang mendalam dalam hati sang anak. Ia trauma pada sosok sang ibu. Terlebih, pasca perceraian tak sekalipun si ibu datang mengunjunginya. Ia merasa terbuang. Merasa tak berarti. Ia merasa sangat membenci ibunya.
Bertahun-tahun perasaan itu dipendamnya. Tak ada yang tahu. Hingga sang anak mendapat kabar kalau ibu kandungnya kini tengah sakit. Depresi berat membuatnya harus mendapatkan perawatan di rumah sakit jiwa sejak tiga tahun yang lalu.
*
Akhirnya mobil yang dikendarai Bang Rama tiba di depan rumah mungil kami. Di tanganku masih tergenggam sepasang tangan keriput yang sejak tadi tak mau dilepaskan si empunya.
Pelan-pelan kubisikkan sesuatu ke telinganya. Ia mengangguk pelan. Ia juga tak menolak ketika kuajak turun dari mobil dan pelan-pelan masuk ke dalam rumah. Aku mengantarnya sampai di kamar.
“Terima kasih sudah membantuku menghilangkan kebencian yang telah berkarat selama bertahun-tahun” ucap Bang Rama. Tak lama berselang ketika aku keluar dari kamar.
Aku tersenyum sebagai jawabannya. Tak ada yang lebih membahagiakan selain bisa membantu orang yang kucintai melewati masa sulit dalam hidupnya. Melupakan trauma masa lalunya. Membuang semua kebencian di hatinya. Kini tak ada lagi tanya di hatiku. Semuanya telah jelas. Sejelas penuturan Bang Rama tentang diri dan masa lalunya.
Bang Rama pun kini bisa menyempurnakan lukisannya. Melukis sosok sempurna di sana. Sosok perempuan yang sangat cantik dan anggun. Perempuan dengan rambut sepunggung yang senantiasa tergerai indah. Seorang model yang beberapa tahun lalu namanya sangat terkenal.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dari dalam. Sosok perempuan tua keluar dari dalam. Aku dan Bang Rama bergegas berdiri mendekatinya. Dengan sigap aku kemudian menuntunnya duduk di sofa.
Sedetik kemudian perempuan itu memelukku. Telingaku menangkap bisikan tak jelas yang keluar dari mulutnya. Entah apa yang diucapkannya.
“M a a f” akhirnya ada juga kata-kata bermakna yang bisa kutangkap. Kuhapus genangan air mata yang masih terus menetes membasahi wajah keriputnya. Wajah yang masih menampakkan guratan kecantikan masa lalu. Wajah yang memperjelas siapa sebenarnya pemilik wajah dalam lukisan Mas Rama.
Perempuan tua itu. Dialah pemilik rambut panjang yang selalu tergerai indah dalam lukisan suamiku. Perempuan itu yang melahirkan dan mencampakkan suamiku. Perempuan itu adalah mertuaku.
*****













0 Comments:
Posting Komentar