Teka-Teki Uang Ratih
Sudah beberapa hari ini Ratih, adikku, tiba-tiba mempunyai banyak uang. Entah darimana ia mendapatkannya. Setahuku ibu tak pernah memberikan uang sebanyak itu. Uang jajannya sehari tak pernah lebih dari dua ribu rupiah. Apalagi Ratih kan masih kecil, masih kelas empat SD.
“Kalian pesan saja, biar aku yang bayar baksonya !” kudengar suara Ratih di teras depan. Sepertinya Ratih akan mentraktir dua orang temannya jajan di warung bakso Mas Joko yang hanya berjarak dua rumah dari rumah kami. Akhir-akhir ini kuperhatikan Ratih juga sangat royal pada teman-temannya.
Ketika hal itu kusampaikan pada ibu, beliau sangat terkejut. Seperti dugaanku, ibu memang tak pernah memberi uang lebih pada Ratih.
“Ibu juga ndak tahu darimana uang itu. Tiap hari ibu hanya beri seribu buat jajan di sekolah. Kalau ada uang lebih paling ibu tambah seribu lagi” jelas ibu sambil mengerjakan adonan kue yang akan dijual besok.
Ibu memang selalu sibuk. Sejak kepergiaan ayah lima tahun yang lalu otomatis ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu harus menghidupi kami, aku dan Ratih. Ibu pun terpaksa bekerja serabutan apa saja yang penting bisa membawa uang ke rumah untuk kebutuhan kami sehari-hari.
“ Kalau begitu biar aku yang cari tahu soal ini. Ibu gak usah khawatir. ” aku berusaha menenangkan ibu.
Tak tega rasanya menambah lagi beban ibu dengan persoalan Ratih. Kasihan ibu. Lagipula ibu telah mempercayakan pengawasan Ratih padaku. Mestinya aku yang bertanggung jawab bila terjadi sesuatu pada adikku itu.
*
Hari menjelang maghrib ketika kudengar suara langkah kaki kecil memasuki rumah. Aku tahu itu Ratih. Buru-buru kuselesaikan tugas mencuci piringku dan bergegas ke kamar menemuinya.
“Sudah pulang, De?” tanyaku begitu berada di samping Ratih. Aku sengaja tidak mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Kak Ros! Bikin kaget saja” Ratih kelihatan terkejut. Dengan cepat tangannya disembunyikan dibelakang punggungnya.
“Maaf, kakak tidak mengetuk pintu tadi. Lupa!” jawabku ngasal.
Aku kemudian duduk disisi ranjang. Kuperhatikan adikku yang salah tingkah karena merasa diperhatikan.
“Darimana, De? Kok jam segini baru pulang?”
Ratih tak menjawab.
“Kakak perhatikan belakangan ini kamu sering pulang jam segini. Main dimana saja?” aku kembali menanyainya.
Ratih tetap tak menjawab. Bocah itu masih mematung di tempatnya.
“Kamu jangan diam saja dong. Jawab kalau ditanya” aku mulai tidak sabaran menghadapi Ratih.
Tiba-tiba bunyi gemerincing uang logam yang berhamburan jatuh di dekat kaki Ratih mengejutkan kami. Seketika Ratih menunduk dan memungutnya. Akupun membantunya mengumpulkan uang logam itu.
“Banyak sekali uangnya, ini uang kamu semua? Dapat darimana?” kuserahkan uang logam yang berhasil kukumpulkan pada Ratih.
Ratih menerimanya dengan enggan. Tapi mulutnya tak juga mau bersuara.
“Ratih, kakak harus tahu darimana kamu mendapat uang ini. Kasihan ibu kalau ternyata kamu mencuri untuk mendapatkan uang ini”
“Aku tidak mencuri. Ini uang halal hasil kerjaku sendiri” suara Ratih meradang. Ia tidak terima disangka mencuri. Meski kami tergolong miskin tapi ibu selalu mengajar kami untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan milik kami.
“Kakak tahu kamu bukan pencuri. Makanya kasi tau dong darimana uang itu..” akupun ikut meninggikan suaraku.
Ratih kembali terdiam.
“Baiklah kalau kamu tidak mau cerita. Biar kakak cari tahu sendiri.” Dengan kesal aku meninggalkan Ratih yang tak juga mau membuka mulut.
Aku segera keluar kamar. Tekadku sudah bulat, aku harus tahu dari mana Ratih mendapatkan semua uang itu.
*
“Rosa, lihat, itukan Ratih !” Seru Tari mengejutkanku. Sore itu aku bersama dengan Tari, Anti dan Asmi berjalan-jalan di Pantai Losari menikmati indahnya sunset Losari yang terkenal sangat cantik. Pantai Losari hanya berjarak lima belas menit berjalan kaki dari tempat tinggal kami.
Kuarahkan pandanganku ke tempat yang ditunjuk Tari. Aku sangat terkejut. Di depan sebuah rumah makan kulihat adikku bersama dua orang temannya tengah mengedarkan kaleng bekas susu kepada para pengunjung rumah makan tersebut. Ketiga bocah kecil itu berpenampilan lusuh untuk menarik belas kasihan para pengunjung.
Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Akhirnya pertanyaanku selama ini terjawab sudah. Akhirnya aku tahu darimana Ratih memperoleh banyak uang terutama uang logam recehan selama ini.
“Ya Allah, adikku ternyata seorang pengemis!”













0 Comments:
Posting Komentar