Alif
“Ayo Lif, kamu kapan mendaftarnya?”
“Iya Lif, dua hari lagi kita udah
mulai belajar, lho”
“Ditunggu lho, Lif...”
Alif diberondong dengan beragam
pertanyaan begitu siswa kelas enam itu tiba di bangkunya. Rupanya kelima
sahabatnya telah menunggu kedatangan Alif sedari tadi.
Biasanya memang Alif yang datang
terlebih dahulu karena rumahnya paling dekat dengan sekolah. Tapi kali ini Alif
datang terlambat.
Keenam sahabat itu telah lengkap
sudah. Ada Andika, Romi, Ihsan, Ilham dan Idrus. Berenam mereka bersahabat
sejak kelas satu. Mereka bisa kompak karena keenamnya suka sekali dengan
pelajaran sains dan matematika. Keenamnya pun sepakat untuk menjadi ilmuwan
jika dewasa nanti.
“Maaf teman-teman, sepertinya aku
gak bisa ikut ....” ucap Alif lirih.
“Kalau kamu gak ikut itu namanya gak
kompak dong...” celutuk Idrus.
“Ada apa, sih? Minggu lalu kita
semua sudah sepakat untuk ikut les di Cendekia. Mengapa kamu sekarang berubah?”
Alif terdiam. Sebenarnya ia tidak ingin mengingkari kesepakatan yang sudah mereka buat minggu lalu. Alif pun sangat ingin ikut les yang diadakan Lembaga bimbingan belajar Cendekia. Sebuah lembaga bimbingan belajar yang terkenal di kotanya.
Sebenarnya Alif dan para sahabatnya tergolong anak yang pandai. Sejak kelas satu rangking mereka tak pernah keluar dari peringkat sepuluh besar. Hanya posisi mereka saja yang kadang bergantian. Tapi banyaknya ujian yang harus mereka hadapi membuat enam sahabat itu mulai khawatir. Mulai dari beberapa ulangan harian, ujian akhir semester, ujian sekolah hingga yang terbesar yaitu ujian nasional. Semua ujian ini tentu saja membuat Alif dan sahabatnya senewen, tegang bahkan nyaris stres. Ditambah lagi dengan tayangan televisi dan koran yang selalu menampilkan berita tentang ketatnya ujian nasional. Mereka melihat banyaknya siswa yang tidak lulus dan kemudian stress karenanya. Mereka tak mau bernasib seperti itu. Mereka semua ingin lulus dan kembali melanjutkan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi.
Beberapa bulan sebelum ujian
nasional salah seorang kakak tentor dari bimbingan belajar cendekia berkunjung
ke sekolah. Kakak itu mempromosikan lembaganya. Banyak yang kemudian tertarik
untuk ikut les di sana termasuk Alif dan kelima sahabatnya.
Sayangnya ketika Alif memperlihatkan
brosur dari lembaga bimbingan belajar itu ke ibu, ibu menolaknya dengan halus.
Menurut ibu, Alif tak perlu ikut les di sana. Lagipula di sekolah sudah ada les
yang diadakan oleh bapak dan ibu guru. Alif cukup ikut les itu saja.
Waktu itu Alif sangat kecewa. Ia merasa ibu tidak peduli padanya. Bukankah yang diminta Alif adalah sesuatu yang baik dan berguna untuk masa depannya.
Sejak itu setiap hari Alif merengek agar dibolehkan ikut les. Tapi Alif sangat menyesal kemudian. Pelan-pelan ibu menceritakan sesuatu yang ia tak pernah duga sebelumnya. Tentang keadaan keluarga yang tidak diketahuinya selama ini.
Ternyata sudah dua bulan ini bapak
menganggur. Perusahaan tempat bapak bekerja selama ini mendadak bangkrut
sehingga harus memberhentikan semua karyawannya, termasuk bapak. Sejak itu
bapak kembali harus mencari pekerjaan baru.
Toko kelontong ibu yang selama ini
ikut membantu pemasukan keluarga belakangan juga sepi. Pembeli lebih suka
berbelanja di mini market yang berada tak jauh dari toko ibu. Mini market itu
memang lebih lengkap barang jualannya dan lebih nyaman karena full ac. Apalagi
harganya juga tak beda dengan took kelontong ibu.
Sebenarnya ibu memiliki tabungan. Tapi rencananya uang tabungan itu akan dipakai untuk biaya melanjutkan sekolah Alif dan Dini, adiknya. Alif akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMP sedangkan Dini akan melanjutkan sekolah ke SD. Untuk itu keduanya membutuhkan biaya yang tidak bisa dibilang sedikit.
Setelah mengetahui kondisi keluarga yang sebenarnya Alif pun memilih untuk tidak lagi mendesak ibu. Meski demikian, Alif tidak mau menceritakan hal ini pada para sahabatnya. Ini adalah urusan keluarga dan sahabatnya tidak perlu tahu.
*
Besok adalah hari pertama ujian nasional yang akan berlangsung selama tiga hari. Meski akhirnya Alif tidak jadi ikut les di Cendekia tapi ia telah melupakan kekecewaannya. Benar kata ibu, les di sekolah juga menyenangkan meski waktunya hanya tiga kali dalam sepekan.
“Istirahat dulu, Nak “ ucap ibu yang
telah berada di samping Alif. Ibu membawa sepiring ubi jalar rebus kesukaannya
lengkap dengan secangkir the hangat.
“Terima kasih, Bu” belakangan ini
ibu memang sangat perhatian. Sejak Alif disibukkan dengan persiapan menghadapi
ujian, ibupun disibukkan dengan menyiapkan makanan kesukaan Alif.
“Agar Alif tambah semangat
belajarnya” kata ibu waktu Alif menanyakan hal itu.
Perhatian ibu ini memang membuat
Alif semakin giat belajar. Alif tak ingin membuat orang tuanya, terutama ibu,
kecewa. Alif ingin orang tuanya bangga padanya. Selain itu Alif juga ingin
membuktikan kepada para sahabatnya bahwa ia juga bisa memperoleh nilai yang
bagus meski tidak ikut bimbel di Cendekia. Alif merasakan sikap mereka agak
berubah belakangan ini. Mereka menuduh Alif tidak kompak karena tak ikut bimbel
bersama. Mereka pun senantiasa bercerita tentang kelebihan bimbel Cendekia yang
mereka masuki. Selama ini mereka memang selalu kompak dalam hal apapun. Baru
kali ini Alif terpisah dari mereka. Dan mereka menjadi marah dan kecewa
karenanya.
Alif terpaksa menerima sikap para
sahabatnya itu. Meski ia merasa sendiri karenanya. Alif tidak mau terlalu memikirkan
hal itu karena ia hanya ingin focus belajar sebagai persiapan menghadapi ujian.
**
“Alif berangkat, Bu. Doa’akan Alif
lulus, ya...”
“Tentu saja, Nak. Do’a ibu selalu
untukmu”
Usai mencium tangan ibu dan meminta
do’anya, Alif pun bergegas ke sekolah. Hari ini adalah hari pengumuman
kelulusan. Sejak semalam Alif sangat gelisah dan tak sabar menunggu pagi tiba.
Ia ingin segera mengetahui kelulusannya.
“Assalamu alaikum, pengumumannya
sudah adakah?” Alif menanyai Arga, salah seorang temannya yang sedang duduk
sendiri di samping kelas.
“Belum ada. Kata Pak Arif sebentar
lagi hasilnya di tempel di papan pengumuman “ jawab Arga.
“Hei itu Pak Arif ” Alif menarik
tangan Arga. Ia melihat Pak Arif keluar dari ruang guru dengan membawa beberapa
lembar kertas. Alif menduga kertas itu adalah kertas pengumuman kelulusan
mereka.
Benar saja, di depan papan
pengumuman Pak Arif berhenti. Kertas yang dibawanya ditempelkan satu persatu.
Setelah selesai Pak Arif pun mundur dan membiarkan beberapa siswa kelas enam
yang ingin segera melihat hasilnya berdesakan.
“Pelan-pelan, Nak. Awas jangan
saling dorong!” Pak Arif memperingatkan siswanya yang saling mendorong.
Semuanya berebut ingin melihat hasilnya terlebih dahulu.
“Alhamdulillah, aku lulus”
“Aku juga lulus”
“Aku juga”
Pekik kegirangan ramai terdengar
kemudian. Bermacam cara dilakukan untuk menunjukkan kegembiraan mereka. Ada
yang melonjak kegirangan. Ada juga yang kemudian berangkulan dan saling memberi
selamat.
“Selamat ya, Lif. Kamu lulus bahkan
masuk lima besar”
Alif terkejut melihat Ilham dan
Idrus memberi selamat padanya. Ia tak menyangka sama sekali. Tapi Alif sangat
gembira karena keduanya kembali mau berbicara dengannya.
“Kalian juga selamat ya. Ilham, kamu
hebat tetap di nomor satu. Kamu juga hebat, Drus, hanya setingkat di bawahku”
Alif membalas pujian kedua sahabatnya itu.
“Hei, kalian. Selamat ya....kita
semua lulus...” teriak Andika, Romi dan Ihsan. Ketiga sahabat itu kemudian
berlari ke arah Alif, Ilham dan Idrus. Mereka kemudian saling berangkulan dan
saling mengucapkan selamat.
Diam-diam Alif menghapus air matanya
yang tiba-tiba saja jatuh. Hari ini ia merasa sangat bahagia. Kerja kerasnya
belajar selama beberapa bulan terakhir kini membuahkan hasil. Kelima sahabatnya
pun kembali mau berteman dengannya. Dan yang paling menggembirakan ialah ia
bisa membuat bangga orang tuanya
karena berhasil lulus bahkan
nilainya masuk lima besar tertinggi di sekolahnya.
***















0 Comments:
Posting Komentar