Pada Sang Waktu
Pada Sang Waktu merupakan cerpenku yang dimuat di koran kampus tempatku menimba ilmu. Kalau tidak salah, honor atau fee-nya Rp15.000. Lumayan lah buat mahasiswi manis kayak saya waktu itu (Gapapa kan, muji diri sendiri. kasihan, gak ada yang puji...)
Sebenarnya, saya punya kliping tulisan-tulisan yang pernah dimuat di koran zaman dulu. Qadarallah, semua habis karena kebakaran rumah kami di tahun 2006 silam. Kebetulan, saya nemu naskah aslinya. Ya udah, saya tulis di sini aja sebagai portofolio. Sekaligus sebagai kenangan kalau ternyata saya pun pernah alay. Hehehe.
Cerpen ini dimuat kira-kira di tahun 1994. Ide cerita ini berasal dari salah seorang teman. So, jangan kaget kalau ceritanya rada-rada alay ala ABG zaman baheula...
Selengkapnya, silakan dibaca, ya...
Sebenarnya, saya punya kliping tulisan-tulisan yang pernah dimuat di koran zaman dulu. Qadarallah, semua habis karena kebakaran rumah kami di tahun 2006 silam. Kebetulan, saya nemu naskah aslinya. Ya udah, saya tulis di sini aja sebagai portofolio. Sekaligus sebagai kenangan kalau ternyata saya pun pernah alay. Hehehe.
Cerpen ini dimuat kira-kira di tahun 1994. Ide cerita ini berasal dari salah seorang teman. So, jangan kaget kalau ceritanya rada-rada alay ala ABG zaman baheula...
Selengkapnya, silakan dibaca, ya...
PADA SANG WAKTU
Seminggu lagi jangka waktu pembayaran uang kuliah berakhir. Kata-kata itu yang selalu terngiang di telinga Adit.Kata-kata yang membuatnya kelimpungan dan merasakan betapa tak berdayanya ia kini.
"Adit!" panggil Nani, cewek sefakultas yang akrab dengan Adit.
"Aku baru selesai membayar, gimana dengan kamu, Dit?"tanya Nani begitu ia tiba di sisi Adit.
Adit tak menjawab, malah terus mengayunkan langkahnya.
"Ada apa sih, Dit?"usik Nani seraya menyentuh lengan Adit.
"I,m OK, dont worry, Nan"Jawab Adit sembari berusaha tersenyum untuk menyenangkan hati gadis yang amat dikasihaninya itu.
Nani pun terpaksa membalas senyum Adit, meski ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Adit.
*
Tinggal sehari lagi batas waktu pembayaran uang kuliah tersebut tetapi Adit belum juga mendapatkan uang untuk itu. Haruskah ia tidak ikut pada semester ini?Tap tidak ... cita-citanya untuk menjadi seorang insinyur di bidang teknik tentu akan semakin jauh, padahal ia ingin segera menyelesaikan kuliah dan menyandang gelar tersebut kemudian bekerja untuk segera membahagiakan orang tua dan adik-adiknya.
Diingatnya kembali bagaimana setahun ini usaha ayahnya mengalami kemunduran. Dua buah mobil milik keluarganya telah dijual untuk menutupi hutang-hutang perusahaan, bahkan rumah besar yang ditempatinya sekarang pun sedang dalam penawaran. Melihat kenyataan seperti ini, Adit tidak punya keberanian untuk menambah beban keluarganya yang sudah sangat berat itu.
Masih dengan kelesuan yang sama. Adit menapaki jalanan berdebu di hadapannya. Pikiran yang kacau membuatnya tak peduli pada keadaan di sekelilingnya. Pada kebisingan lalu lintas, pada teriknya sang surya yang memanggang bumi, bahkan pada sebuah sepeda motor yang hampir saja menabraknya.
"Jangan melamun di jalan, dong" omel cewek pengendara sepeda motor tersebut.
Adit hanya tersenyum kecut menanggapinya dan kembali berjalan ke arah pinggir.
Tanpa terasa langkahnya telah memasuki jalanan kecil yang sepi. Dilihatnya di ujung jalan sana seorang pria setengah baya turun dari motor dan bergegas memasuki sebuah lorong kecil. Motor itu dibiarkan begitu saja tanpa diberi pengaman sedikitpun.
Detik berikutnya terjadi peperangan di batinnya. Di satu sisi, hatinya membujuk untuk membawa lari motor yang kelihatan masih baru itu, tentu nilai jualnya akan cukup untuk membayar uang kuliah malah mungkin lebih. Tapi di sisi lain, hatinya berontak untuk tidak melakukan perbuatan berdosa tersebut.
Langkah berikutnya ia semakin dekat ke motor tersebut. Terasa olehnya debaran jantung yang semakin cepat berpacu. Tanpa sadar ditengoknya keadaan di sekeliling. Sunyi. Tidak kelihatan seorangpun di sekitar tempat tersebut.
Lalu terjadilah hal yang sebelumnya tak pernah dibayangkannya. Secepat kilat Adit telah berada di atas motor tersebut dan bergegas melarikannya. Bagai kesetanan Adit menyusuri jalanan kecil tersebut menuju ke jalan raya.
Di tengah jalan Adit teringat akan cerita Romy, salah seorang kawannya di kampus yang pernah bercerita tentang seorang tukang tadah barang-barang hasil curian. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Adit segera melarikan motor curiannya itu ke tempat tukang tadah tersebut.
"Saya hanya berani bayar satu juta untuk motor ini, Dik!" begitu kata tukang tadah begitu Adit menyodorkan motor tersebut.
Adit mengiyakannya saja, di kepalanya hanya ada bagaimana agar ia dapat segera membayar uang kuliah yang batas terakhirnya tinggal sehari lagi.
Dengan modal satu juta, Adit membawa uang itu pulang. Perasaan bersalah yang terus membuntutinya berusaha dihilangkan dengan memberi keyakinan pada dirinya bahwa uang itu toh dipergunakannya untuk kebaikan bukan untuk berfoya-foya.
*
Tak terasa kejadian itu sudah dua bulan berlalu. Adit pun telah selesai menempuh ujian akhir semester dengan hasil memuaskan. Adit memang terkenal punya otak yang encer berkat ketekunannya belajar.
"Selamat, ya, Dit!" ucap beberapa orang teman sembari menyalaminya. Adit tersenyum menanggapinya, ada sebersit rasa bangga di dadanya.
Tapi kemudian ia teringat Nani, gadis terkasih itu sudah lama tak dijumpainya. Mereka memang punya kesepakatan untuk tidak saling berhubungan selama ujian hingga hasil ujian itu diumumkan.
"Cari Nani, ya?" tegur Niar, sobat Nani begitu ia melihat Adit celingukan ke sana ke mari.
Adit mengangguk sebagai jawabannya.
"Nani lagi menyendiri di halaman belakang, sebenarnya aku ingin menemaninya tapi Nani menolak, katanya ia lagi ingin sendiri saja. Eh ngomong-ngomong selamat ya, Dit, nilai kamu bagus-bagus lho. Sayang nilai Nani agak menurun, kayaknya ia lagi punya masalah. Tapi ia ngga mau cerita ke aku padahal biasanya ia terbuka. Eh kamu cepetan gih ke sana, aku yakin kalau ke kamu ia pasti mau terbuka!" demikian nyerocos Niar. Anak itu memang cerewetnya minta ampun tapi hatinya sangat baik.
Bergegas Adit ke halaman belakang, di salah satu bangku di bawah pohon waru dilihatnya Nani sedang duduk sendiri.
"Ngelamun, ya?" tegurnya begitu ia duduk di samping Nani.
Nani kelihatan sangat terkejut tapi begitu mengetahui siapa yang menegurnya maka ia pun tersenyum.
''Nilai kamu bagus,selamat ya?'' kata Nani sembari mengangsurkan tangannya memberi ucapan selamat.
''Thank`s, tapi nilai kamu kok menurun, do you have a problem?, please tell me about it .Kita kan sudah berjanji untuk saling terbuka?'' Adit menawarkan jasa baiknya buat Nani.
Nani kelihatan ragu untuk menceritakannya,tapi Adit tersenyum arif sehingga keraguan Nani sirna.
''Kamu tahu kan motor yang kubeli setengah tahun yang lalu?'' Nani mengawali ceritanya dengan bertanya.
Adit mengangguk .Tapi tiba-tiba saja ia merasa tidak enak.Ia merasa seakan Nani telah mengetahui perbuatan tercelanya dan saat ini tengah menghakiminya.
''Motor itu hilang lebih dua bulan yang lalu.Saat itu Pak Anam,tetanggaku meminjamnya untuk dipakai ke rumah salah seorang kerabatnya.Karena ia pikir hanya sebentar di rumah itu,makan ia tak memberi pengaman di motor itu.Dan ketika ia keluar,motor itu telah hilang entah kemana,padahal aku sangat menyayangi motor tersebut,aku...'' sampai di situ Nani tidak meneruskan ceritanya karena tiba-tiba saja ia telah menangis.
Tentu saja Adit sangat terkejut mendengar penuturan kekasih nya itu.Mungkinkah motor yang dicurinya tepo hari adalah motor Nani? Oh tuhan ,jangan biarkan hal itu terjadi.Bagaimana mungkin ia mencuri benda kesayangan kekasihnya itu.Adit tahu pasti bagaimana Nani memperoleh benda itu .Dengan susah payah mengumpulkan honor menulisnya dan juga upah yang diterimanya dari hasil membantu-bantu di salah satu work shop.Nani memang sangat mandiri meski ia sendiri berasal dari keluarga yang kaya raya.
''Aku merasa sangat kehilangan,Dit!'' ucap Nani setelah beberapa saat menangis.
''Pak Anam memang telah mengganti motorku itu dengan motor yang sama tapi bagiku itu tetap saja beda.Aku terlanjur menyayangi motor itu.Aku tidak dapat melupakannya meski diganti dengan apapun juga.Mungkin bagi kamu ini terlalu berlebihan tapi bagiku tidak.Sama sekali tidak!'' Keluh Nani membuat Adit semakin di ganduli rasa bersalah.
Dengan susah payah Adit menghibur Nani meski hatinya sendiri sendang galau.Lalu dibujuknya agar gadis itu mau diajak pulang.Dan untungnya Nani mau saja menuruti ajakan itu.
*
Hampir sebulan sudah Adit selalu berusaha menghidari Nani.Entah mengapa keberanian Adit untuk bertemu Nani mendadak ciut sejak ia tahu pasti bahwa motor yang dicurinya itu memang benar milik Nani.Dan perasaan bersalahnyapun seakan berlipat-lipat jadinya.
Oh tuhan,apa yang harus kulakuan dalam keadaan seperti ini? ucap Adit pada dirinya sendiri.Haruskah ia tetap menyembunyikan rahasia ini dan membiarkan wajah manis Nani tetap tersaput kabut ataukah ia harus berterus-terang.Oh god,betul-betul Adit tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi bila keterus terangan itu diucapkannya.
Hingga jauh malam Adit belum juga mendapatkan keputusan yang akan dilakukannya pada Nani.Akhirnya Adit pasrah,biarlah waktu yang akan berbicara,biarlah sang waktu saja yang menentu kan tindakan apa yang harus diambil untuk mengatasi masalah ini.
Biarlah semuanya diserahkan pada sang waktu.
Lalu Adit menutup matanya untuk berusaha tidur,berusaha melupakan sejenak persoalan yang membebaninya.Ia sudah pasrah,toh semuanya akan diselesaikna oleh sang waktu.
*Note: Saat dimuat di koran kampus, nama Adit berubah menjadi Adik. Katanya, salah cetak.















0 Comments:
Posting Komentar