Teman Terbaik Adalah Buku

Palukka Cilik



“Oi, Palukka!” teriakku begitu melihat sesosok  mungil setinggi adikku yang duduk di kelas empat SD telah berada di dalam toko kelontongku yang sedang sepi. Tak mungkin itu adikku karena saat itu aku sedang sendirian di rumah. Anggota keluarga yang lain sedang menghadiri sebuah acara keluarga di rumah Om Fuad, kakak Ibu.

Anak yang kuteriaki itu  kaget. Dengan cepat ia kemudian meraih beberapa barang  yang paling dekat dengan jangkauannya. Ia masih sempat menoleh ke arahku sebelum mengambil jurus langkah seribu.

Aku tak bisa berbuat banyak. Mangkuk panas yang berada di tanganku serta kompor yang sedang menyala membuatku tak bisa seketika menyusul palukka cilik itu. Aku memang tengah menyeduh mie instan dan menggoreng kerupuk untuk makan siangku. Lagipula posisiku yang berada di dapur cukup jauh dari toko meski aku masih bisa melihat keadaan di sana dengan jelas.

Sialan, sudah kabur” dengusku kesal. Aku masih berharap menjumpai sosok anak itu di ujung jalan. Tapi harapanku itu sia-sia belaka. Tak ada siapapun di sepanjang jalan.  Cuaca siang yang cukup panas itu  membuat orang enggan keluar rumah. Kendaraan yang berlalu di jalan raya  depan toko sekaligus rumahku pun hanya terlihat satu-dia yang melintas.             

Sambil mengomel aku pun bergegas kembali ke tokoku. Entah apa saja yang telah diambil anak itu.
*
Suara pengamen jalanan yang sedang beroperasi di seputaran Pantai Losari serasa tak henti terdengar. Aku yang tengah  menikmati gurihnya   sepiring pisang epe coklat keju selepas melaksanakan shalat maghrib di masjid terapung, Masjid Amirul Mukminin,  merasa agak terganggu. Aku memang tidak terlalu suka dengan kehadiran mereka.

Hm, rasanya tak ada lagi tempat di kota ini yang tidak didatangi pengamen. Baru duduk sebentar, malah biasanya pesanan juga belum diantar,  tapi telah bergantian pengamen yang datang menawarkan berbagai jenis lagu dan warna vokal.

Dengan malas kurogoh saku celanaku ketika sebuah topi terbalik disodorkan dihadapanku. Kuraih lembaran dua ribuan  untuk mengisinya. Dengan tampang masam aku memandang si pemilik topi tersebut.

Saat itu aku sangat terkejut ketika menyadari  pemilik wajah tersebut. Bocah lelaki setinggi adikku yang duduk di kelas 4 SD. Ya, tak salah lagi, anak ini yang telah mencuri di tokoku.

Terima kasih, Kak” ucap anak itu sesopan mungkin. Baru saja ia hendak melangkah pergi ketika buru-buru aku memiting tangannya dengan cukup keras.

Tunggu dulu. Kamu kan yang kemarin siang mencuri di tokoku. Hayo ngaku!” bentakku garang. Ini kesempatanku untuk melampiaskan kemarahan. Gara-gara kejadian kemarin aku dimarahi ayah karena dianggap tidak becus mengurus toko.

“Auw, sakit…”

Tak kupedulikan rintihannya. Tekadku sudah bulat, anak ini harus mendapat pelajaran.

“Ada apa, ini?” si pengamen yang tadi dengan suaranya telah merusak moodku makan kini telah berada diantara kami. Mungkin dia saudara  palukka cilik ini.

Aku pun menceritakan semua kejadian kemarin. Tangan anak kecil itu belum juga kulepaskan meski peganganku tak seerat tadi.

“Tidak mungkin. Sejak pagi kemarin Gani selalu bersamaku. Seharian kami ngamen bersama jadi gak mungkin dia nyolong di toko kamu” ucap cowok pengamen itu usai aku menceritakan segalanya.

Aku tak menyerah begitu saja. Aku sangat yakin tidak mungkin salah. Meski baru sekali melihat anak ini tapi aku tahu pasti memang dialah yang telah mencuri di tokoku kemarin.

“Sudah, lepaskan Gani. Kami mau ngamen lagi” cowok itu menyentakkan tanganku. Peganganku pada anak itu terlepas jadinya.

“Tapi…” aku belum mau menyerah.

“Sudahlah, kamu salah orang. Untung kami tidak menuntutmu atas kasus pencemaran nama baik”

Aku melongo mendengarnya.
*




Aku tercenung mendengar kisah yang baru saja dibawakan oleh Agam, cowok pengamen yang kemarin membela Gani. Ternyata kemarin aku memang tidak salah orang. Gani adalah bocah palukka yang telah mencuri di tokoku sehari sebelumnya.

Maaf, aku terpaksa berbohong kemarin” ucap Agam kemudian. Rupanya setelah kejadian kemarin Agam menginterogasi Gani. Lewat bocah kecil itulah Agam tahu alamatku dan kini hadir di depanku untuk menjelaskan semuanya.

Ah, semalang itukah nasib Gani?” desisku pelan,tak lama setelah Agam pamit.

Agam memberitahukan siapa Gani sebenarnya. Bocah berumuran sekitar 10 tahun itu boleh dikatakan adalah anak yatim piatu. Tak ada yang tahu siapa kedua orang tuanya. Yang jelas, saat masih bayi, Gani kecil ditemukan diantara tumpukan sampah.

Daeng Erang, orang yang pertama kali menemukannya, kemudian merawat dan membesarkannya seperti anak sendiri. Daeng Erang, seorang wanita yang ketika muda dahulu berprofesi sebagai wanita penghibur. Kini di usianya yang hampir senja profesi itu tak mungkin lagi dijalaninya. Apalagi sejak dua tahun lalu Daeng Erang telah kehilangan penglihatannya akibat penyakit katarak yang tak terobati. Otomatis Gani lah yang kini harus bekerja untuk menopang hidup mereka berdua.

Agam mengenal Gani sejak mahasiswa semester terakhir itu aktif di sebuah LSM yang peduli dengan kehidupan anak jalanan. Sebagai salah seorang relawan, Agam pun sering ikut berbaur dengan mereka. Memberi penyuluhan, latihan bahkan terkadang ikutan ngamen, seperti waktu itu.

Gani yang selama ini menjalani kehidupan  sebagai anak jalanan spesialis copet pelan-pelan mulai diberi pengarahan. Bersama para anak jalanan lainnya, Gani kemudian disekolahkan dan diajarkan beberapa keterampilan sebagai bekal hidup mereka nantinya.

Meski demikian, sesekali kebiasaan lama Gani kumat kembali. Terutama saat kebutuhan hidup kembali mendesaknya. Seperti saat kejadian di tokoku tempo hari. Waktu itu Daeng Erang sedang sakit sehingga Gani terpaksa mencuri untuk membeli obat bagi ibu angkatnya itu. 

Gani adalah satu dari sekian banyak  anak jalanan yang ada di kota Makassar. Di kota yang tengah berbenah menuju kota dunia itu, anjal (anak jalanan) serta gepeng (gelandangan dan pengemis) bukanlah hal yang asing. Mereka ada di mana-mana. Terutama di berbagai tempat keramaian serta sarana publik. Kehadiran mereka seakan sebagai pelengkap eksistensi sebuah kota besar.
**
Beberapa hari lagi lebaran. Seperti biasa, pusat perbelanjaan adalah tempat yang paling banyak dikunjungi orang. Tak terkecuali di Mall Panakukang, satu dari beberapa mall yang ada di Kota Daeng ini.

Aku yang saat itu sedang ditemani kedua adikku berbelanja kebutuhan lebaran ikut berdesakan, berburu barang murah yang ditawarkan beberapa toko yang ada di dalam kawasan mall. Kondisi yang sangat ramai membuatku lebih waspada. Selain terus memperhatikan kedua adikku, aku juga harus mewaspadai kelihaian tukang copet yang biasanya ikutan panen di saat seperti ini.

Copet...” sebuah teriakan yang cukup nyaring membuat suasana mall menjadi semakin riuh.

Aku dan kedua adikku  saat itu tengah berdesakan dengan para pengunjung mall ketika teriakan itu terdengar. Tanpa bisa dicegah, kami ikut terbawa massa yang berlari mengejar pencopet tersebut. Kami terpaksa ikut  karena tak bisa melawan arus. Begitu banyak yang ingin melihat kemana larinya pencopet tersebut.

Sesampainya di depan mall suasana semakin ramai. Kepadatan massa berkumpul di seberang jalan. Mereka tengah mengerumuni sesuatu.  Kendaraan yang melintas di jalan raya depan mall banyak yang kemudian berhenti dan pengendaranya ikut bergabung dengan kerumunan tersebut.

Pencopetnya ditabrak mobil” jawab salah seorang bapak yang baru saja keluar dari kerumunan tersebut.

Mampus tuh pencopet. Nekad sih, kecil-kecil udah berani nyopet….” kasak kusuk beberapa orang terlihat membicarakan apa yang baru saja terjadi.

Sebenarnya aku ingin ikut bergabung dengan kerumunan orang itu. Aku ingin melihat langsung apa yang  telah terjadi. Tapi keinginan itu kutahan sebab kedua adikku terlihat ketakutan setelah insiden terbawa arus tadi.

Sayangnya dari tempatku berdiri sekarang aku tak bisa melihat apa-apa. Terpaksa aku hanya bisa bertanya-tanya pada beberapa orang yang telah meninggalkan lokasi kerumunan massa tadi.

Menurut cerita yang kudengar, pencopet tadi adalah seorang anak kecil yang berhasil mengambil dompet milik seorang ibu muda. Sayangnya, aksi itu ketahuan.  Akibatnya banyak massa yang kemudian meneriaki dan ikut  mengejarnya. Mungkin karena panik, ketika tiba di depan mall pencopet itu tak lagi memperhatikan kendaraan yang banyak melintas di depannya. Hingga sebuah katana hitam menghantam tubuhnya yang kemudian terlempar beberapa meter.

Untungnya polisi segera tiba tak lama setelah kejadian. Mereka segera mengamankan lokasi dan membawa anak itu ke rumah sakit. Kerumunan massa pun mulai bubar satu persatu.

Aku bergidik mendengar cerita yang kudengar itu. Tiba-tiba perasaanku tak enak. Komentar-komentar yang berseliweran di pendengaranku membuatku segera  teringat seseorang. Tabrakan, pencopet, anak kecil.

Ya Tuhan, tiba-tiba aku ingat Gani. Jangan-jangan…..
*

Hari yang dinanti seluruh umat muslim sedunia telah tiba. Hari raya Idulfitri. Hari yang penuh kegembiraan dan suka cita setelah sebulan lamanya bertarung melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan.

Kegembiraan juga meliputi keluarga kami. Usai menjalankan ritual saling maaf memaafkan antara sesama anggota keluarga maka ritual berikutnya adalah makan-makan. Ya, lebaran kali ini ibu telah menyiapkan hidangan Coto Makassar lengkap dengan ketupat dan burasanya.  

Saat tengah menikmati hidangan lebaran itulah, aku dikejutkan dengan kedatangan dua orang tamuku. Dengan penuh tanda tanya aku pun menemui mereka. Tak biasanya aku dikunjungi teman di hari pertama Idulfitri.

Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin…” anak kecil yang kini berada di hadapanku langsung meraih dan mencium tanganku.

Aku terkesiap. Ya, dua orang tamu itu adalah Agam dan Gani. Aku benar-benar tak menyangka mereka akan mengunjungi rumahku di hari pertama. Dan Gani…..Jadi pencopet yang ditabrak kemarin bukanlah anak ini. Buktinya dia masih bisa hadir dalam keadaan sehat wal afiat.

Kalian…

Agam pun segera mengutarakan maksud kedatangan mereka. Keduanya memanfaatkan momen lebaran untuk bersilaturrahmi sekaligus meminta maaf atas kejadian tempo hari. Bahkan Gani membawa beberapa lembar rupiah untuk menebus harga barang-barang yang diambilnya saat itu.

Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Untungnya ayah segera datang dan mengajak keduanya untuk ikut menikmati hidangan lebaran. Tanpa menunggu dipersilakan dua kali, mereka segera beranjak ke meja dan segera berbaur dengan keluarga kami.

Lebaran kali ini menjadi sangat spesial karena keduanya.

*****

Note:
*Palukka (pencuri dalam Bahasa Makassar)
*Burasa (buras, makanan khas sulawesi yang terbuat dari campuran beras dan santan yang 
  dibungkus daun pisang dan diikat  sebelum dimasak sekitar 7 jam)

0 Comments:

Posting Komentar