Teman Terbaik Adalah Buku

Bahtera Cinta Kedua

 


Kupandangi wajah tirus yang ada di hadapanku. Sedetik, ada rasa kasihan merayapiku. Namun, kuteguhkan kembali hatiku. Tidak, aku harus bisa bersikap tegas pada perempuan yang usianya hanya terpaut beberapa bulan lebih muda dariku.

"Mengapa harus memilih berpisah? Kasihan Sydney, dia akan kehilangan sosok ayahnya. Terlebih, Sydney makin besar dan sebentar lagi akan tumbuh menjadi gadis remaja.

Untuk kesekian kalinya aku mencoba memberikan alasan agar Rahmi, perempuan itu, tidak nekad dengan keputusannya. Keputusan yang sangat mengejutkanku karena yang kutahu selama ini rumah tangga Rahmi dan Bahar baik-baik saja.

"Saya sudah bicara dengan Sydney. Anak itu menyerahkan sepenuhnya padaku. Bagaimanapun, dia lebih memilih kedua orang tuanya berpisah baik-baik daripada kami terus menerus bertengkar setiap kali Kang Bahar pulang ke rumah." Jelas Rahmi. 

Rahmi dan Bahar memang menjalani pernikahan mereka dengan MDR, Marriage Distance Relation. Sebenarnya, sudah beberapa kali Bahar meminta Rahmi agar ikut ke kampung halamannya. Namun, Rahmi menolak. Bukan hanya karena di kota ini Rahmi memiliki pekerjaan yang sangat menjanjikan.

Namun, selama ini Bahar tak sedikit pun menunjukkan sikapnya sebagai seorang kepala keluarga yang baik. Bahkan, boleh dibilang kebutuhan keluarga kecil itu sepenuhnya ditanggung Rahmi. Yah, Bahar tak bekerja dan sekiranya Rahmi dan Sydney ikut kembali ke kampung halaman Bahar, mereka hanya akan menjadi beban keluarga, beban kedua orang tua Bahar. Tentu saja, Rahmi tak menginginkan hal itu. 

"Aku masih bisa bekerja, Kedua tanganku masih bisa menghasilkan uang yang cukup demi menghidupi kami sekeluarga. Syaratnya hanya satu, jangan minta aku meninggalkan kota ini. Di sini hidupku, di sini mata pencaharianku, dan di sini masa depan yang cerah untuk anakku, Sydney.
Demikian alasan yang selalu diulang-ulang Rahmi setiap kali Bahar mengajaknya pulang. Alasan yang juga diutarakannya padaku setiap kali aku bertanya mengapa ia enggan meninggalkan kota ini.

"Mengapa tidak memperbaiki hubungan kalian saja, bukankah itu lebih baik daripada harus berpisah. Toh, selama tujuh tahun Kamu bisa menerima keadaan ini. Lalu mengapa tidak bisa bersabar untuk selanjutnya. Setidaknya, hingga Sydney lebih besar lagi ...." Aku berusaha membujuk. Setidaknya, aku masih mempunyai waktu untuk menyelamatkan rumah tangga Rahmi, saudara kembar sahabatku Rahma, yang telah meninggal dunia lima tahun yang lalu.

"Bulik Tinem sudah tahu hal ini?" aku menyebut nama ibu Rahmi di kampung.

"Keluarga di kampung semuanya sudah tahu. Mereka menyerahkan keputusan padaku. Apa pun itu, aku sudah bukan anak kecil lagi ..." 

Kami kemudian diam. Kulihat Rahmi meremas kedua tangannya silih berganti. Suasana mendadak kaku. Untungnya, kebekuan kami dicairkan dengan suara salam. Rahmi bergegas keluar, menyambut Sydney yang baru pulang sekolah.

"Sydney, mana?" tanyaku ketika Rahmi kembali mendatangiku di kamar. 

"Ke rumah auntie di sebelah. Sydney memang lebih senang berada di sana. Apalagi Audrey, anak Auntie baru saja membeli mainan baru. Sejak kemarin, Sydney berada di sana," jelas Rahmi.

Auntie adalah tetangga Rahmi yang sudah seperti keluarga sendiri. Rahmi bukanlah penduduk asli kota ini. Ia adalah pendatang dan keluarga Auntie menjadi penolongnya di kota ini. Sejak itu hubungan Rahmi semakin dekat, apalagi Rahmi sempat menjadi pengasuh anak-anak Auntie sebelum menikah dengan Bahar dan memulai usaha kulinernya yang kini semakin besar.

"Novel apa, ini?' tanyaku usai Rahmi mengangsurkan dua novel dewasa padaku. "Aku Cinta Padamu" dan "Asmara Dinda". 

"Wow ... abegeh bangets. Bacaan anak muda zaman now ... " seruku tanpa sadar. Terus terang, di usia seperti ini, rasanya novel-novel picisan ini tidak lagi sesuai untuk kami. Kami bukan abegeh yang lagi jatuh cinta. Ups, jangan-jangan.

"Hadiah ulang tahunku, sebulan yang lalu." Tanpa diminta Rahmi menjelaskan asal muasal novel tersebut. Tiba-tiba, aku merasa ada yang aneh dengan Rahmi. Wajahnya tak lagi lelah, malah ia terlihat bersemangat. Dan, hei.....wajahnya bersemu merah.

"Hadiah dari siapa? Bahar?

Rahmi terlihat kesal ketika aku menyebut nama itu. 

"Bukan, dari teman!"

"Wuih, teman apa teman...." lagi-lagi aku keceplosan. Tanpa sadar aku melontarkan godaan yang entah mengapa tiba-tiba saja tercetus dari mulutku. Dua buah novel roman picisan hadiah ulang tahun dari seorang teman, bukan hadiah dari Bahar.

"Temanmu, perempuan?"

"Bukan, laki-laki ...."

Lalu, meluncurlah sebuah kisah yang menurut  penciumanku ada aura asmara di sana. 



Namanya Bahtiar. Rahmi berkenalan dengannya lewat media sosial setahun yang lalu. Hubungan keduanya semakin akrab ketika Bahtiar sengaja datang ke kota ini dan bertemu langsung dengan Rahmi. 

Pada Bahtiar, Rahmi telah menceritakan semuanya. Tentang siapa dirinya, pekerjaannya, keluarganya, termasuk tentang keretakan hubungannya dengan Bahar. 

Pada Rahmi, Bahtiar juga telah menceritakan semuanya. Tentang siapa dirinya, pekerjaannya, keluarganya, termasuk perceraiannya sepuluh tahun yang lalu dan kedua anaknya yang telah dewasa.

"Kamu menyukainya, Kamu.....selingkuh?" kupaksa mengeluarkan suara yang rasanya mencekik leherku.

"Tentu tidak. Aku tidak segila itu. Kami hanya bersahabat, tidak lebih...." Rahmi menjawab cepat.

"Tapi...."

"Oke, aku tidak akan menyalahkanmu karena berpikir demikian. Terserah, kamu percaya atau tidak namun kehadiran Bahtiar tidak ada hubungannya dengan keputusanku untuk bercerai dari Bahar. Aku perempuan normal. Aku juga butuh diperhatikan, butuh kasih sayang, butuh cinta..........."

Tanpa diminta, Rahmi kemudian mengungkapkan apa selama ini tak pernah aku pikirkan. Rupanya, sudah lebih dari lima tahun Rahmi tak mendapatkan nafkah batin dari suaminya. Bahar tak bisa menunaikan tugasnya sebagai seorang suami. 

Lengkaplah sudah, tak ada nafkah lahir dan batin. Mungkin, inilah yang membuat Rahmi begitu ngotot untuk meminta berpisah. Apalagi, kehadiran sosok baru, mau tidak mau telah menghadirkan rasa berbunga-bunga di hatinya. Mengusik kedahagaannya akan kasih sayang seorang suami yang telah lama tak dirasakannya. 

Aku pun kelu mendengar semuanya.

*

Pagi itu aku pulang dengan hati yang basah. Kueratkan pelukan terakhirku sebelum memaksa tubuhku memasuki mobil.  Buru-buru kuhapus setitik air yang telanjur jatuh agar tak terlihat Bang Arkan yang berada di sebelahku.

"Kami pamit ya, Rahmi. Terima kasih sudah memberi tumpangan untuk istriku yang cantik ini. Jangan kapok, ya, karena besok-besok dia bakalan datang lagi..." seperti biasa Bang Arkan senantiasa hadir dengan candaannya. Selama dua hari Bang Arkan mengikuti pelatihan di kota tempat Rahmi berada. Dan, aku lebih memilih berada di rumah Rahmi daripada di hotel.

"Gak kapok, lha. Aku senang, malah. Ada teman curhat dan sharing..." balas Rahmi yang kemudian mengerling padaku.

Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Dan, ketika mobil mulai melaju pelan, aku pun melambaikan tangan pada Rahmi dan Sydney yang berdiri di depan pagar melepas kami.

Dan, kesibukan mengurus buah hati membuatku melupakan kisah Rahmi. Hingga, aku menemukan fotonya bersama laki-laki lain di akun media sosial miliknya.


"Selamat, ya, pengantin baru..." demikian komen-komen yang kemudian bermunculan di status tersebut.

Saat itulah, aku baru tersadar kalau ternyata Rahmi sangat serius dengan ucapannya waktu itu. 

"Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama'a baynakuma fii khayr" Mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik ketika senang maupun susah dan mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.

Hanya itu yang bisa aku panjatkan untuk kebahagiaan sahabatku. Semoga bahtera ke dua yang dibangunnya ini akan abadi hingga kelak di Jannah-Nya. Aamiin.

0 Comments:

Posting Komentar