Peran di Balik Layar
“Insya Allah tahun ini sekolah kita akan mulai berjalan” suara sang
ustadz yang selalu optimis seperti biasanya terdengar lewat pengeras suara.
Seketika suasana rapat pengurus yayasan yang kuikuti mendadak
gemuruh. Para pengurus terdengar ramai bersuara. Meski ruangan antara pengurus
wanita dan pria di pisah tapi jelas terdengar hiruk pikuk tersebut dari tempat
masing-masing.
Sementara di tempat wanita aku memperhatikan satu persatu wajah
mereka yang tersentak mendengar rencana itu. Mendirikan sekolah bukanlah wacana
yang baru. Hal ini telah dilontarkan sang ustadz beberapa waktu yang lalu.
Semua pengurus setuju dan sepakat waktu itu. Meski demikian saat itu belum ada
kesepakatan kapan rencana sekolah itu akan diwujudkan.
Tentu saja keputusan ini kemudian mengundang banyak tanya. Bagaimana mungkin membuka sekolah di tahun ini sementara lahan yang ada hanya sebatas 6 x 7 m 2. Itupun berupa bangunan sangat sederhana yang sehari-hari digunakan sebagai tempat belajar mengaji atau TPA. Lahan sempit itu adalah tanah wakaf yang diberikan kakak salah seorang pengurus yayasan.
Belum lagi berbicara masalah dana. Semua pengurus yayasan tahu kalau dana kas yang berasal dari sumbangan para donatur itu paling banyak hanya berkisar dua jutaan.
Dengan uang sebanyak itu bagaimana mungkin membangun sebuah sekolah
yang pastinya membutuhkan dana jutaan rupiah. Beragam pertanyaan yang tak
terlontarkan itu kemudian dijawab dengan lugas dan penuh antusias oleh sang
ustadz. Dengan pertolongan Allah maka sekolah itu dapat didirikan. Yang
dibutuhkan saat ini adalah kerjasama serta kerja keras yang dilakukan oleh
semua pengurus. Tak lupa diiringi dengan doa untuk kelancaran pembangunan.
Alhamdulillah, optimisme sang ustadz berhasil menulari sebahagian besar dari mereka yang hadir. Sebahagian lagi masih ragu. Tapi mereka tetap berjanji akan membantu sekuat mungkin.
Maka pekerjaan besar itupun dimulai. Bangunan TPA yang telah berdiri di atas tanah wakaf itu kemudian direnovasi. Para pengurus bekerja sama untuk membangun sekolah tersebut. Ini adalah proyek impian yang akan menjadi aset jamaah dan sebagai bukti nyata dakwah yang selama ini kami usung.
“Ummi, tolong bujuk ustadz katakan impiannya terlalu tinggi. Kami
siap dengan pembukaan TK untuk tahun ini tapi belum untuk SD” di sela-sela
pembangunan beberapa kali aku didatangi beberapa orang pengurus yang merasa
pesimis dengan rencana yang ada.
Aku mengerti kekhawatiran mereka. Membangun sekolah setingkat TK
dan SD sekaligus sebagaimana yang direncanakan bukanlah pekerjaan yang mudah.
Mereka khawatir impian itu terlalu tinggi mengingat keterbatasan yang kami
miliki.
Semua keluhan yang disampaikan padaku hanya kusimpan sendiri. Aku tak menyampaikannya ke sang ustadz sebagaimana yang diinginkan. Bukannya tidak amanah. Aku hanya tak ingin keluhan itu mempengaruhi semangat serta optimism sang ustadz yang juga adalah suamiku. Insya Allah setelah proyek ini selesai semua keluhan itu akan aku sampaikan.
Proyek ini adalah impian suamiku setelah beberapa tahun melihat
arah dakwah yang hanya berjalan di tempat. Suamiku yang ditugaskan sebagai dai
di kota kecil ini bertanggung jawab untuk memajukan dakwah islam di sini. Suami
pun mengubah strategi dakwah.
Maka muncullah ide mendirikan lembaga pendidikan secara bertahap.
Dimulai dengan tingkat TK dan SD. Tiga tahun kemudian akan kembali menggarap pembangunan
SMP dan SMA. Dengan demikian suami berharap para siswa yang telah kami bina
sejak dini setelah dewasa nanti akan menjadi kader dakwah selanjutnya.
Aku sangat mendukung proyek ini. Ketika untuk pertama kalinya suami mencetuskan ide ini padaku aku langsung sepakat dengannya. Aku pun mempunyai mimpi yang sama. Mimpi mencerdaskan anak bangsa lewat lembaga pendidikan.
Bersama suami, kami merencanakan beberapa tahapan yang akan
dilakukan. Sebelum tekad untuk membuka sekolah di tahun ini dilontarkan, segala
sesuatunya telah dipersiapkan.
Beberapa bulan sebelumnya suami telah rajin bersilaturrahmi dengan
kepala dinas pendidikan setempat. Pada beliau, suami memaparkan konsep sekolah
terpadu yang akan didirikan. Alhamdulillah, beliau sangat mendukung rencana
tersebut. Beliau lah yang juga meminta suami untuk tetap maju meski banyak
kendala menghadang.
Selama ini rupanya pak kadis telah banyak mendengar dan melihat konsep sekolah terpadu. Sayangnya di wilayah yang dibawahinya sekolah dengan konsep seperti itu belum ada. Karenanya pak kadis termasuk salah seorang pendukung kami.
Beliau kemudian menjanjikan bantuan sekolah bila nantinya sekolah itu telah berdiri. Adapun masalah dana untuk pembangunan awal kami telah merancang beberapa cara untuk mendapatkannya. Proposal permintaan bantuan dana telah disiapkan untuk dibawa ke para donatur. Ada juga ide membuat kotak infak seribu rupiah perhari yang disebarkan di beberapa rumah simpatisan serta kotak infak yang akan diletakkan di depan beberapa toko. Tak lupa ada juga jemputan infak dan sedekah yang dibawa dari rumah ke rumah.
Sedangkan persoalan lahan, suami telah menemui para pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan tanah wakaf. Alhamdulillah mereka bersedia menjual tanah-tanah tersebut dan bersabar menunggu pembayarannya. Malah sebelum pembayarannya lunas mereka tak keberatan untuk didirikan bangunan di atasnya.
Karenanya setiap kali nada pesimis terdengar kami segera memaparkan
kemajuan serta dukungan yang telah ada. Pada yang mengeluh padaku kuingatkan
bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini bila Allah telah berkehendak. Tugas
kita sebagai manusia hanya berusaha semaksimal mungkin tak lupa disertai dengan
doa. Apalagi rencana ini bukan hanya proyek dunia semata. Meski tak dipungkiri kalua
kami juga berharap proyek ini nantinya dapat menjadi batu loncatan untuk meraih
kehidupan dunia. Lebih dari itu, kami juga berharap ini akan menjadi amal
jariyah kami semua nantinya.
Alhamdulillah, pembangunan sekolah dapat selesai sesuai rencana.
Meski masih jauh dari bangunan ideal sebuah sekolah tapi kami telah sangat
bersyukur. Di tahun pertama itu kami berhasil mendapat dua belas murid
setingkat taman kanak-kanak dan lima murid untuk tingkat sekolah dasar.
Meski jumlah murid belum sesuai dengan ketetapan diknas yang
menetapkan jumlah siswa minimal sepuluh tapi kami tetap melangkah. Kami yakin
ke depan dapat memperoleh murid yang lebih banyak.
Alhamdulillah menginjak tahun ke dua, bantuan dana yang dijanjikan
datang juga. Kami pun dapat melakukan perombakan. Bangunan sekolah yang asalnya
sangat sederhana berubah menjadi ideal. Setiap tahun murid yang mendaftar pun
semakin banyak. Sedikit demi sedikit impian mencerdaskan anak bangsa itu mulai menampakkan
kemajuan.
Keberhasilan ini sekali lagi membuktikan kebenaran akan janji
Allah. Man Jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh maka ia yang akan
berhasil. Tak lupa suami berterima kasih atas dukungan penuh yang selama ini
kuberikan. Di tengah cibiran, tekanan bahkan ancaman yang diberikan orang-orang
yang tidak suka dengan keberadaan sekolah itu.
Dengan dukungan serta semangat yang selalu siap untuk ditularkan dari dalam rumah, membuat suami senantiasa optimis mewujudkan mimpi. Halangan dan rintangan yang ditemuinya di luar sana menguap seketika tatkala kembali ke rumah. Tak salah bila kemudian ada ungkapan dibalik laki-laki sukses pasti terdapat wanita yang hebat.
Akupun bersyukur bisa memberi kontribusi dalam mewujudkan mimpi ini. Meski aku tak pernah tampil menunjukkan diri. Meski aku hanya berkiprah di balik layar.
***













0 Comments:
Posting Komentar