Teman Terbaik Adalah Buku

Mama

 



Cerpen "Mama" merupakan cerita pendek yang dimuat di Majalah Annida terbitan No. 05 Tahun IX Desember 1999. Honornya kalau tidak salah waktu itu Rp90.000. Lumayan banget untuk ukuran saat itu.

 

Kisah selengkapnya bisa disimak di sini....

 

*Sst, jangan lupa sediakan tisu atau sapu tangan atau boleh juga ujung jilbab atau baju kamu. Siapa tahu ada air mata yang perlu dihapus. Hehehe.

 

 

MAMA

 




"Apa?"ulangku dengan nada meninggi. Rasanya sulit sekali untuk mempercayai pendengaranku usai Maya, Arga, dan Dian menuturkan rencana mereka terhadap Mama. Kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah adik-adik kandungku sendiri, rasanya aku akan tega menyuruh mereka meninggalkan rumahku detik ini juga. Buru-buru aku beristighfar, menenangkan dadaku yang rasanya akan meledak karena marah.

 

"Terus terang, Kak, kami sudah angkat tangan untuk mengurusi Mama. Bayangkan, rumah tangga kami selalu saja ribut jika Mama berada di sana. Bisa-bisa kami cerai gara-gara Mama" ucap si bungsu Dian dengan sengit. 

 

"Dian benar!

 

Lalu Maya menceritakan bagaimana sebulan yang lalu Romy, suaminya marah besar karena ulah Mama. Waktu itu Mama menyuruh Bobby, anak mereka, untuk salat Maghrib. Bobby yang sedang asyik bermain sega tentu saja menolak, tapi Mama terus mendesak dengan alasan Bobby telah berumur lebih sepuluh tahun. Karena Bobby tak juga beranjak, Mama kemudian mengambil sega tersebut. Tindakan Mama itu membuat Bobby menangis meraung-raung sehingga rumah yang tadinya tenang berubah gaduh, padahal saat itu Romy sedang istirahat setelah lelah seharian bekerja di kantor.

 

Merasa sangat terganggu oleh kegauhan tersebut, Romy segera mencari tahu penyebabnya. Dari mulut Bobby, Romy pun tahu kalau lagi-lagi Mama yang berulah. Seketika itu juga Romy mengultimatum Maya agar segera membawa pergi Mama dari rumah mereka. Maklum, bukan sekali itu saja Mama membuat masalah tapi sudah berulang kali sehingga wajar kalau kali ini kesabaran Romy telah habis.

 

"Pokoknya Mama payah. Benar-benar trouble maker, deh!" sambung Maya yang langsung diiyakan oleh Arga dan Dian.

 

"Karena itu kami kemudian sepakat membawa Mama ke panti jompo. Don't worry, Kak, Mama tidak akan terlantar sebab kami akan menempatkan Mama di panti jombo terbagus di sini. Selain itu akan ada seorang suster profesional yang hanya bertugas mengurus Mama. Bagaimana, Kak?" jelas Arga meminta persetujuanku.

 

Aku terdiam mendengar semuanya. Sungguh, aku tak pernah menduga adik-adikku akan berbuat setega itu terhadap Mama. Bagaimana mungkin mereka bisa membawa Mama ke panti jompo tersebut sedangkan Mama masih punya kami, empat orang anaknya?

 

Terbayang kembali dalam ingatanku betapa selama ini Mama amat bangga pada ketiganya. Maya yang terkenal sebagai seorang pengacara yang andal, Arga yang terus melambung dengan bisnis impor eksportnya dan Dian yang kini menjabat Pembantu Rektor II di sebuah universitas swasta terkenal.

 

Lalu bagaimana denganku? Usai menyelesaikan tugas akhir sebagai seorang mahasiswa aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Bukannya tak ada lowongan tapi semua kesempatan itu membuatku harus menampiknya. Terlalu banyak ikhtilat, persaingan yang kurang sehat dan terutama busana kerja yang memamerkan aurat membuatku untuk membayangkannya saja sudah teramat ngeri. Melihat sikapku, sudah kuduga Mama marah besar karenanya. Mama sangat berharap aku dapat membantunya membiayai sekolah adik-adikku dengan bekerja di salah satu instansi atau perusahaan yang ada.

 

Selama ini Mama berjuang seorang diri untuk menghidupi kami sejak kematian Papa lima tahun yang lalu. Dengan berbekal toko kelontong peninggalan Papa, kami kemudian menyandarkan hidup. Alhamdulillah, kami bisa hidup karenanya.

 

Sejak itu Mama seakan mengibarkan bendera permusuhan denganku. Tak ada lagi tegur sapa Mama untukku. Tak ada lagi cerita segar maupun keluh kesah Mama padaku. Aku telah dianggap tak ada lagi di rumah ini.

 

Tentu saja, aku sangat sedih karenanya. Betapapun aku bersikap baik  Mama tetap dengan aksi diamnya. Saat itulah aku kemudian bertekad untuk membuktikan pada Mama bahwa meski aku tidak bekerja di salah satu instansi atau perusahaan aku masih bisa mendapatkan penghasilan di bidang lain.

 

Maka mulailah aku menggali potensi diriku secara lebih serius. Alhamdulillah, Allah menganugerahkan bakat menulis padaku.Sebenarnya aku telah menulis sejak duduk di bangku SLTA dan honornya kadang kuberikan pada Mama dan sebahagiannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanku. Tapi selama ini aku menulis sebatas iseng belaka, hanya untuk mengisi waktu luang. Selain menulis, aku juga mencoba menerima jahitan serta ikut mendirikan tempat kursus bahasa Inggris dan Arab bersama beberapa orang Muslimah. 

 

Kuakui hasil dari kegiatan tersebut tak seberapa. Terlebih, ketika Maya adikku yang hanya beda setahun dariku, meraih gelar SH-nya. Maya yang supel itu langsung diterima bekerja di sebuah law firm setelah sebelumnya magang selama hampir setahun di sana.

 

Bekerja di law firm terbesar di kota ini membuat Maya kemudian menjadi kebanggaan Mama. Dengan penghasilannya yang cukup besar membuat Mama tak perlu lagi seharian menangani toko kelontong. Kini Mama bisa mengupah seseorang untuk mengurusi toko tersebut dan Mama hanya sesekali mengeceknya.

 

Hampir dua tahun sejak aku menuntaskan kuliahku ketika suatu hari seorang ikhwan bermaksud melamarku. Mulanya Mama acuh tak acuh ketika kuberitahukan hal tersebut. Tapi ketika Mama melihat sosok ikhwan tersebut, seketika itu Mama langsung meradang.

 

"Bukan menantu ideal!" ucap Mama waktu itu. Maklum, ikhwan tersebut datang bersama kedua orang tuanya menumpang taksi, bukan dengan Honda Accord atau sejenisnya seperti harapan Mama. 

Susah payah aku kemudian membujuk Mama agar mau menerima lamaran tersebut. Selain aku telanjur menyukainya (tentu saja lewat biodata serta keterangan yang diberikan ustadz padaku) aku pun ingin segera keluar dari rumah yang kini hanya menyisakan kesesakan belaka.

 

Sejak keberhasilan Maya, entah sudah berapa kali aku harus menebalkan telinga mendengar Mama yang membanding-bandingkan kami. Bahkan tak jarang Mama menyebutku anak yang tak tahu balas budi, anak yang tahu berbakti pada orang tua.

 

Bukannya aku tak tahan dengan ujian tersebut, hanya saja kupikir keadaan akan lebih baik bila aku tak lagi berada di rumah. Dengan begitu Mama tak sempat lagi membanding-bandingkan aku dengan Maya atau adik-adikku yang lain yang kelihatannya akan segera menyusul kesuksesan Maya. Dengan begitu Mama bisa lebih tenang dan tak perlu selalu meradang karena melihatku.

 

Alhamdulillah, Mama akhirnya mau mengalah. Tapi Mama kembali meradang ketika mengetahui bentuk pernikahan islami yang kami inginkan. Tapi syukurlah, karena semaunya kemudian dapat berjalan dengan baik meski dengan riak-riak kecil di sana sini.

 

Sehari setelah walimah aku pun ikut Mas Taufiq, demikian nama ikhwan yang kini menjadi suamiku, pindah ke sebuah rumah kecil yang sederhana. Maklum, Mas Taufiq hanya seorang guru SLTA biasa  dengan gaji yang tak seberapa. 

 

Melihat keadaanku Mama semakin terpuruk  dalam kekecewaannya padaku. Hanya sekali Mama menginjak rumah kami, itu pun saat pertama aku pindah ke sana. Akhirnya, hubunganku dengan Mama semakin menjauh, meski aku dan Mas Taufiq terus berusaha sesering mungkin melakukan pendekatan.

 

Keadaan semakin memburuk ketika Arga dan Dian berhasil menjadi kebanggaan Mama berikutnya. Keduanya berhasil dalam kariernya masing-masing.  Dengan demikian aku semakin tak punya tempat di hati Mama, termasuk Mas Taufiq maupun Ahmad dan Fathiya, anak-anakku.

 

"Bagaimana, Kak?" sebuah tepukan halus segera membuyarkan ingatanku. Aku tersentak kaget dan teringat kembali akan masalah yang dibawa ketiga adikku. Tiba-tiba terasa ada yang amat menyesakkan dadaku.

 

"Kak Erin setuju, khan? Kalau begitu Mama sudah boleh masuk ke panti itu besok!" ucap Maya yang rupanya melihat diamku sebagai tanda setuju.

 

"Tidak!" tanpa sadar aku berteriak nyaring. Tentu saja ketiga adikku terkejut melihatku. Kembali aku beristigfar, bagaimanapun aku tak boleh dikuasai oleh rasa marah yang terasa semakin menyesakkan. Kuatur napas baik-baik sebelum berbicara kembali. 

 

"Kalian sungguh keterlaluan. Bagaimana mungkin kalian berencana membawa Mama ke panti jombo sedang beliau masih punya kita, anak-anaknya. Apa kalian tidak berpikir bahwa hati Mama akan sangat sakit diperlakukan seperi itu? Dibuang oleh anak-anaknya sendiri, anak-anak yang telah dilahirkan dan dibesarkan dengan susah payah, anak-anak yang akan menjadi kebanggaan dan harapannya di hari tua."

 

"Kak Erin salah! Kami tidak membuang Mama karena panti itu memiliki semua yang dibutuhkan Mama. Mama tidak akan terlantar karena di sana semua fasilitasnya lengkap!" Maya berusaha membantahku.

 

"Tidak membuang bagaimana kalau Mama akan kalian berikan ke orang lain sedang Mama masih punya empat anak kandung? Begini saja, daripada kalian membawa Mama ke panti lebih baik Mama ikut aku dan Mas Tauqif saja!"putusku.

 

Ketiganya terkejut mendengar keputusanku. Aku tahu mereka sedang meragukan kemampuanku mengurus Mama. Sebagai orang-orang yang mengukur segalanya dari materi, mereka selalu memandang sebelah mata padaku maupun Mas Taufiq. Kehidupan sederhana yang kami jalani tak akan pernah bisa mereka pahami.

 

"Apa Kak Erin yakin Mama akan betah di sini? Ingat lho selama ini Mama tak pernah kekurangan apa pun dari kami." Arga berusaha mengingatkanku.

 

"Biarkan Mama yang memilih, ikut kami atau pindah ke panti jompo. Semuanya terseserah Mama!' tandasku segera menanggapi peringatan Arga.

 

***

 

 


Besoknya, bersama Mas Taufiq dan kedua anakku kami berangkat ke rumah Dian, tempat Mama sejak satu bulan terakhir.

 

"Mama mana, Dian?" tanyaku langsung ke pokok pembicaraan begitu Dian bersama Donny, suaminya, menyambut kedatangan kami. 

 

"Di kamar bersama Kak Maya dan Kak Arga!" jawab Dian yang langsung beranjak ke kamar yang dimaksud.  Dari belakang kami mengikuti langkah-langkah Dian.

 

"Kak Maya, Kak Arga, Kak Erin datang nih!"ucap Dian begitu tiba di depan salah satu kamar di sudut rumah besar miliknya. Segera pintu terkuak yang dibuka oleh Arga.

 

"Assalamualaikum!" hampir berbarengan aku dan Mas Taufiq mengucapkan salam begitu kami menjejakkan kaki di kamar yang cukup luas itu.

 

"Waalaikumussalam!"balas Maya dan Arga serempak.

 

"Bagaimana Mama?" tanyaku pada kedua adikku yang dijawab dengan menunjuk Mama yang sedang terduduk lesu di kursi malas kesayangannya.

 

""Assalamualaikum, Ma!" aku bergegas bersimpuh di hadapannya diikuti suami dan anak-anakku.

 

"Bagaimana kabar Mama, Mama baik-baik saja kan?"

 

Mama tak menjawab pertanyaanku. Kemudian Mama menatapku dengan tatapan yang aku tak tahu apa maksudnya. Tiba-tiba kulihat mata Mama berkaca-kaca. Mama menangis.

 

"Ada apa, Ma?" aku jadi panik melihat Mama menangis.

 

Tanpa kuduga Mama kemudian memelukku. Erat sekali sehingga aku kesulitan bernapas dibuatnya.

 

"Mama tidak mau dibawa ke panti jompo. Mama bukan orang tua malang, mama masih punya anak. Mama tidak mau ke sana. Erin, jangan biarkan adik-adikmu membawa mama ke panti itu..." pinta Mama tanpa melepaskan pelukannya seakan takut aku akan meninggalkannya.

 

"Tenang, Ma, tidak akan ada yang membawa Mama ke panti jompo. Kami semua sayang Mama, kami tidak akan tega melakukan hal itu pada Mama," aku berusaha menenangkan Mama tanpa sedikit pun berusaha melepaskan pelukannya.

 

"Bohong, buktinya mereka telah mempersiapkan panti jompo untuk Mama. Kalian tidak sayang pada Mama. Hu ... hu ... hu...!Apa salah Mama sehingga dibuang anak sendiri di hari tua ini!" tiba-tiba Mama melepaskan pelukannya dan kembali ke kursi malasnya sambil menagis segugukan.

 

"Mama, Erin tidak bohong. Kami semua sayang Mama. Mama tidak akan kami bawa ke panti jompo. Mulai sekarang Mama akan bersama Erin, Mas Taufiq serta Ahmad dan Fathiya. Mama mau kan?"

 

"Benarkah?" Mama segera menghentikan tangisnya dan menatapku lekat-lekat seakan tak mempercayai pendengarannya.

 

"Benar, Ma, lagi pula Ahmad dan Fathiya selalu merindukan neneknya. Tentu mereka akan sangat senang bila Mama ada bersama kami," Mas Taufiq yang sejak tadi diam kini bersuara.

 

Mama tak berkata apa-apa lagi usai itu, hanya saja mata Mama kembali dibanjiri airmata. Buru-buru kuseka mata Mama yang kemudian meraihku dalam pelukannya. Ketika itulah Mama membisikkan sesuatu di telingaku.

 

Ah, Mama, apa yang kulakukan ini tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan semua pengorbanan yang telah Mama berikan kepada kami, anak-anak Mama. Tapi, Ma, aku setuju dengan ucapan Mama yang terakhir. Ya, materi bukan segala-galanya. 

 


 

 


0 Comments:

Posting Komentar