Keadilan Islam untuk Wanita
Tak henti-hentinya usaha dan upaya musuh-musuh Islam untuk terus
menerus berusaha mencela dan merendahkan ajaran Islam. Salah satu usaha
tersebut adalah dengan memasuki ranah wanita muslimah. Dengan menggusung jargon
emansipasi wanita, hak asasi manusia, dan beragam jargon propaganda lainnya
mereka berusaha agar para muslimah menjauh dari agamanya. Mereka tahu betapa
besarnya peranan seorang wanita baik dalam kehidupan berkeluarga maupun
bermasyarakat.
Para musuh islam senantiasa mencari celah agar bisa menunjukkan
kepada dunia akan kelemahan agama Islam. Namun, semakin besar usaha mereka maka
semakin besar pula tersibak hikmah-hikmah dari perintah-perintah Allah
Subhanahu wa ta'ala kepada makhluk-Nya. Agama islam adalah agama yang sempurna.
Boleh jadi ada yang beranggapan terjadi ketidakadilan pada salah satu perintah.
Namun setelah mengetahu hikmah di balik perintah tersebut maka akan tersadarlah
bahwa bukan perintah itu yang tidak sempurna namun kapasitas akal manusia yang
belum mampu mencernanya.
Salah satu senjata yang sering ditodongkan kepada umat islam
adalah perkara keadilan bagi wanita. Mereka sering mengatakan bahwa islam tidak
adil kepada kaum wanita. Namun benarkah demikian? Tentu saja semua itu tidak
benar. Selengkapnya bisa dilihat pada tulisan berikut. Tulisan yang dimuat di Majalah
Sedekah Plus Edisi
KEADILAN ISLAM UNTUK WANITA
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Adil bukanlah sama rata sama rasa, setiap orang mendapatkan bagian yang
sama. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan hak
kepada pemiliknya. Karenanya umat islam pun diperintahkan untuk senantiasa
berlaku adil pada siapapun.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya :“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
An Nahl: 90)
Namun bagi sebagian orang yang ada penyakit di hatinya, mereka
terus menerus mencari celah untuk menodai kemurniaan agama ini. Dengan
mengedepankan hawa nafsu serta keterbatasan akal dan pikirannya, mereka
menyebarkan tuduhan-tuduhan yang justru menunjukkan kebodohan mereka.
Mereka menuduh islam sebagai agama yang tidak adil, terutama menyangkut urusan
wanita muslimah.
Tak heran bila kemudian mereka berupaya keras untuk melemahkan
agama ini lewat pintu wanita. Mereka menyebarkan propaganda-propaganda sesat
atas nama HAM maupun persamaan gender. Mereka berbuat seolah-olah ingin
mengangkat harkat dan martabat muslimah namun sesungguhnya mereka tak ubahnya
serigala berbulu domba. Bukan, bukan kemuliaan muslimah yang ingin mereka
tegakkan. Namun mereka mengingikan muslimah terpuruk dalam jerat maut
kesesatan. Dengan melemahnya muslimah maka agama ini akan turut melemah
karena muslimah adalah sosok penentu sebuah generasi.
Padahal adanya perbedaan hukum syariat atas laki-laki dan
perempuan justru menunjukkan keadilan islam. Karena perbedaan
inilah yang kemudian melahirkan adanya penetapan hukum syariat yang
berbeda antara pria dan wanita. Hukum syariat ini tentu saja sejalan
dengan fitrah dan kodratnya keduanya.
Menyamaratakan laki-laki dan wanita dalam segala hal
sesungguhnya merupakan sebuah bentuk kedzaliman. Laki-laki dan wanita mempunyai
banyak perbedaan terutama dari sisi penciptaannya. Maka tidaklah dapat diterima
akal jika keduanya mendapatkan perlakuan yang sama. Inilah yang namanya adil, keadilan
untuk semua.
Keadilan Untuk Wanita Dalam Hal Kepemimpinan
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka).” (An Nisa:34)
Ayat di atas menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin dan
wanita adalah orang yang dipimpin. Sebagai pemimpin maka laki-laki harus
dipatuhi dan sebagai yang dipimpin maka wanita harus mematuhi apa kata pimpinan
(tentu saja selama semuanya tidak bertentangan dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya)
Kepemimpinan diletakkan pada pundak laki-laki dengan berbagai
macam konsekuensi. Laki-laki bertanggung jawab untuk memberi nafkah, melindungi
serta membimbing kaum wanita yang menjadi tanggung jawabnya.
Begitupun dengan wanita, mereka diperintahkan untuk lebih
banyak berdiam di rumah karena rumah adalah tempat terbaik baginya. Mengatur
rumah tangganya, mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Dengan lebih banyak di
rumah seorang wanita akan lebih terjaga kemuliaannya. Keadilan untuk wanita
adalah, ketaatan mereka akan berbuah jannah.
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di
bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan
dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”.
(HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu).
Ada beberapa hikmah mengapa wanita terlarang untuk menjadi seorang
pemimpin. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits, “Tatkala
ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia
mengangkat putri Kisra (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau
shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, 'Suatu kaum itu tidak akan
bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita'. ”
(HR. Bukhari)
Hikmah yang lain adalah dikarenakan wanita itu kurang
akal dan agama sebagaimana disebutkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,
“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga
dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu diantara kalian
wahai wanita.” (HR. Bukhari)
Para ulama menjelaskan makna kurang akal adalah dari sisi
penjagaan dirinya dan persaksian. Persaksian dua orang wanita setara dengan
seorang laki-laki. Dalam hal ini wanita harus bersama wanita lainnya dan
tidak bisa hanya sendiri. Sementara makna kurangnya agama adalah ketika wanita
tersebut berada dalam kondisi haidh dan nifas maka ia tidak dapat
menjalankan shalat dan puasa. Maka disinilah letak kekurangan agamanya.
Selain itu wanita menurut tabiatnya mempunyai sifat mudah
putus asa dan sering terburu-buru mengambil sebuah keputusan sehingga cenderung
berbuat kerusakan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shalallahu
alaihi wasallam, “Bersikaplah yang baik terhadap wanita karena sesungguhnya
mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang
rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan
tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia
akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik terhadap wanita.” (HR.
Bukhari ).
Meski demikian, wanita tetap dapat menjadi seorang pemimpin yaitu
di rumahnya sendiri. Di dalam rumahnya, seorang wanita adalah ratu dalam rumah
tangganya. Ia adalah sang pemegang kendali. Di rumahnya ia berhak untuk menata
rumahnya, memelihara dan mendidik anak-anaknya serta menjaga harta dan
kemuliaan suaminya.
Kerjasama antara tugas laki-laki di luar rumah dan wanita di dalam
rumah akan menghasilkan keharmonisan. Maka kebutuhan akan perbaikan keluarga
teratasi oleh wanita sementara perbaikan masyarakat nantinya dilakukan
oleh kaum laki-laki.
Keadilan Untuk Wanita Dalam Adab dan Pergaulan
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzâb [33]: 59)
Di antara hukum syariat yang khusus bagi wanita adalah aturan
dalam berpakaian. Wanita diperintahkan untuk menutup tubuhnya kecuali beberapa
bagian yang dibolehkan. Wanita juga diperintahkan untuk lebih banyak tinggal di
rumah, tidak bercampur baur dengan kaum lelaki, merendahkan suaranya, menjaga
pandangannya serta tidak memakai wewangian saat keluar rumah. “Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al Ahzâb [33]: 33)
Aturan ini tidak berlaku bagi kaum laki-laki.
Hikmahnya adalah agar kaum wanita dapat selamat dari mata-mata
khianat dan tidak menjadi fitnah bagi kaum lelaki. Wanita
lebih terjaga diri dan kehormatannya sehingga kerusakan moral sebagaimana yang kini
marak terjadi dapat ditanggulangi.
Keadilan Untuk Wanita Dalam Warisan
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu ; bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan” (An-Nisa’ : 11)
Ayat di atas menyebutkan bahwa dalam hal warisan, wanita hanya
mendapat setengah dari bagian laki-laki. Lalu apakah ini lantas berarti islam
tidak adil? Tunggu dulu, sekilas memang tampak seperti itu dan aturan inilah
yang juga banyak dimanfaatkan oleh musuh-musuh islam untuk menjelekkan agama
mulia ini.
Wanita mendapatkan pembagian warisan setengah dari bagian
laki-laki memang benar adanya. Namun hal ini justru menunjukkan keadilan islam.
Aturan warisan ini telah sesuai dengan kodrat laki-laki dan wanita. Laki-laki
berkewajiban memberi nafkah dan mencukupi semua kebutuhan istri dan anaknya.
Hal ini berarti bahwa dalam harta warisan yang diperolehnya ada hak wanita
(istri serta anak-anaknya) yang menjadi tanggung jawabnya di sana. Itulah
sebabnya bagiannya menjadi lebih besar.
Sementara pada wanita, harta warisan tersebut menjadi haknya
sepenuhnya. Bahkan ada beberapa keadaan yang apabila berlaku maka bagian harta
warisan bisa sama atau bahkan lebih banyak dari laki-laki. Lalu dimana letak
ketidakadilan islam?
Keadilan Untuk Wanita Dalam Hal Persaksian
" …Dan carilah dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(diantara) kalian. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki
dan dua orang perempuan) dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang
lupa maka seorang lagi mengingatkannya..." (QS. Al-Baqarah: 282)
Islam telah menetapkan bahwa persaksian seorang laki-laki
sebanding dengan persaksian dua orang wanita. Salah satu hikmahnya adalah jika
salah seorang dari saksi wanita itu lupa dengan persaksiannya maka wanita yang
lainnya akan mengingatkannya.
Mengapa wanita harus diingatkan? Secara kodrati wanita
diciptakan dalam keadaan lemah termasuk lemah dalam hal mengingat. Karena
kelemahannya itulah maka persaksian seorang wanita harus dikuatkan oleh
wanita lainnya. Karena bisa jadi ia terlupa atau terlewatkan akan sesuatu. Atau
bisa jadi ia melebih-lebihkan atau mengurangkan sebuah persaksian. Selain
itu wanita juga mudah menaruh belas kasihan serta adanya keterbatasan peran
wanita dalam berbagai urusan.
Keadilan Untuk Wanita Dalam Hal Musyawarah
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Mujâdilah [58]: 1)
Ayat di atas turun berdasarkan pengaduan seorang wanita atas
masalah yang menimpanya. Dari langit ke tujuh, Allah subhanahu wata’ala
langsung memberikan jawaban atas masalah tersebut. Di kesempatan yang lain,
saat peristiwa Perjanjian Hudaibiyah saat para sahabat enggan menjalankan
perintah Nabi maka saat itulah Ummahatul Mukminin, Ummu Salamah mengeluarkan
pendapatnya. Rasulullah kemudian mengikuti pendapat tersebut hingga kemudian
seluruh sahabat kemudian tersadar dan bersegera mengerjakan perintah
Rasulullah.
Kedua peristiwa tersebut menunjukkan bahwa wanita mempunyai hak
untuk didengar keluhannya dan juga berhak untuk diambil pendapatnya. Tentu saja
ini menjadi bukti bahwa islam mengakui keberadaan kaum wanita. Sesuatu yang
mustahil terjadi sebelum datangnya islam. Saat kaum wanita dipandang sebagai
makhluk kelas dua.
Secara umum, dalam hal ibadah dan ketaatan, islam memberi
perlakuan yang sama. Laki-laki yang melanggar aturan Allah akan mendapatkan
dosa dan laki-laki yang mengerjakan ketaatan akan mendapatkan pahala. Hal yang
sama juga berlaku bagi kaum wanita. Keduanya berhak atas surga jika
beriman dan berhak dimasukkan ke neraka jika ingkar.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki
maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam
surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS. An Nisâ [4]: 124)
Demikian beberapa keadilan islam terkait kaum wanita. Keadilan
yang menunjukkan betapa berharganya kaum wanita dalam pandangan agama islam.
Betapa Maha Adil nya Allah Subhanahu wata’ala pada makhluk yang bernama
wanita. Semoga kita, kaum wanita dapat menjadi sebaik-baiknya
makhluk Allah dan mendapatkan ridho-Nya.
Aamiin.
Wallahu a’lam bisshawab













0 Comments:
Posting Komentar