Peran di Balik Layar
“Insya Allah tahun ini sekolah kita akan mulai berjalan” suara sang
ustadz yang selalu optimis seperti biasanya terdengar lewat pengeras suara.
Seketika suasana rapat pengurus yayasan yang kuikuti mendadak
gemuruh. Para pengurus terdengar ramai bersuara. Meski ruangan antara pengurus
wanita dan pria di pisah tapi jelas terdengar hiruk pikuk tersebut dari tempat
masing-masing.
Sementara di tempat wanita aku memperhatikan satu persatu wajah
mereka yang tersentak mendengar rencana itu. Mendirikan sekolah bukanlah wacana
yang baru. Hal ini telah dilontarkan sang ustadz beberapa waktu yang lalu.
Semua pengurus setuju dan sepakat waktu itu. Meski demikian saat itu belum ada
kesepakatan kapan rencana sekolah itu akan diwujudkan.
Tentu saja keputusan ini kemudian mengundang banyak tanya. Bagaimana mungkin membuka sekolah di tahun ini sementara lahan yang ada hanya sebatas 6 x 7 m 2. Itupun berupa bangunan sangat sederhana yang sehari-hari digunakan sebagai tempat belajar mengaji atau TPA. Lahan sempit itu adalah tanah wakaf yang diberikan kakak salah seorang pengurus yayasan.
Belum lagi berbicara masalah dana. Semua pengurus yayasan tahu kalau dana kas yang berasal dari sumbangan para donatur itu paling banyak hanya berkisar dua jutaan.
Dengan uang sebanyak itu bagaimana mungkin membangun sebuah sekolah
yang pastinya membutuhkan dana jutaan rupiah. Beragam pertanyaan yang tak
terlontarkan itu kemudian dijawab dengan lugas dan penuh antusias oleh sang
ustadz. Dengan pertolongan Allah maka sekolah itu dapat didirikan. Yang
dibutuhkan saat ini adalah kerjasama serta kerja keras yang dilakukan oleh
semua pengurus. Tak lupa diiringi dengan doa untuk kelancaran pembangunan.
Alhamdulillah, optimisme sang ustadz berhasil menulari sebahagian besar dari mereka yang hadir. Sebahagian lagi masih ragu. Tapi mereka tetap berjanji akan membantu sekuat mungkin.
Maka pekerjaan besar itupun dimulai. Bangunan TPA yang telah berdiri di atas tanah wakaf itu kemudian direnovasi. Para pengurus bekerja sama untuk membangun sekolah tersebut. Ini adalah proyek impian yang akan menjadi aset jamaah dan sebagai bukti nyata dakwah yang selama ini kami usung.
“Ummi, tolong bujuk ustadz katakan impiannya terlalu tinggi. Kami
siap dengan pembukaan TK untuk tahun ini tapi belum untuk SD” di sela-sela
pembangunan beberapa kali aku didatangi beberapa orang pengurus yang merasa
pesimis dengan rencana yang ada.
Aku mengerti kekhawatiran mereka. Membangun sekolah setingkat TK
dan SD sekaligus sebagaimana yang direncanakan bukanlah pekerjaan yang mudah.
Mereka khawatir impian itu terlalu tinggi mengingat keterbatasan yang kami
miliki.
Semua keluhan yang disampaikan padaku hanya kusimpan sendiri. Aku tak menyampaikannya ke sang ustadz sebagaimana yang diinginkan. Bukannya tidak amanah. Aku hanya tak ingin keluhan itu mempengaruhi semangat serta optimism sang ustadz yang juga adalah suamiku. Insya Allah setelah proyek ini selesai semua keluhan itu akan aku sampaikan.
Proyek ini adalah impian suamiku setelah beberapa tahun melihat
arah dakwah yang hanya berjalan di tempat. Suamiku yang ditugaskan sebagai dai
di kota kecil ini bertanggung jawab untuk memajukan dakwah islam di sini. Suami
pun mengubah strategi dakwah.
Maka muncullah ide mendirikan lembaga pendidikan secara bertahap.
Dimulai dengan tingkat TK dan SD. Tiga tahun kemudian akan kembali menggarap pembangunan
SMP dan SMA. Dengan demikian suami berharap para siswa yang telah kami bina
sejak dini setelah dewasa nanti akan menjadi kader dakwah selanjutnya.
Aku sangat mendukung proyek ini. Ketika untuk pertama kalinya suami mencetuskan ide ini padaku aku langsung sepakat dengannya. Aku pun mempunyai mimpi yang sama. Mimpi mencerdaskan anak bangsa lewat lembaga pendidikan.
Bersama suami, kami merencanakan beberapa tahapan yang akan
dilakukan. Sebelum tekad untuk membuka sekolah di tahun ini dilontarkan, segala
sesuatunya telah dipersiapkan.
Beberapa bulan sebelumnya suami telah rajin bersilaturrahmi dengan
kepala dinas pendidikan setempat. Pada beliau, suami memaparkan konsep sekolah
terpadu yang akan didirikan. Alhamdulillah, beliau sangat mendukung rencana
tersebut. Beliau lah yang juga meminta suami untuk tetap maju meski banyak
kendala menghadang.
Selama ini rupanya pak kadis telah banyak mendengar dan melihat konsep sekolah terpadu. Sayangnya di wilayah yang dibawahinya sekolah dengan konsep seperti itu belum ada. Karenanya pak kadis termasuk salah seorang pendukung kami.
Beliau kemudian menjanjikan bantuan sekolah bila nantinya sekolah itu telah berdiri. Adapun masalah dana untuk pembangunan awal kami telah merancang beberapa cara untuk mendapatkannya. Proposal permintaan bantuan dana telah disiapkan untuk dibawa ke para donatur. Ada juga ide membuat kotak infak seribu rupiah perhari yang disebarkan di beberapa rumah simpatisan serta kotak infak yang akan diletakkan di depan beberapa toko. Tak lupa ada juga jemputan infak dan sedekah yang dibawa dari rumah ke rumah.
Sedangkan persoalan lahan, suami telah menemui para pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan tanah wakaf. Alhamdulillah mereka bersedia menjual tanah-tanah tersebut dan bersabar menunggu pembayarannya. Malah sebelum pembayarannya lunas mereka tak keberatan untuk didirikan bangunan di atasnya.
Karenanya setiap kali nada pesimis terdengar kami segera memaparkan
kemajuan serta dukungan yang telah ada. Pada yang mengeluh padaku kuingatkan
bahwa tak ada yang tak mungkin di dunia ini bila Allah telah berkehendak. Tugas
kita sebagai manusia hanya berusaha semaksimal mungkin tak lupa disertai dengan
doa. Apalagi rencana ini bukan hanya proyek dunia semata. Meski tak dipungkiri kalua
kami juga berharap proyek ini nantinya dapat menjadi batu loncatan untuk meraih
kehidupan dunia. Lebih dari itu, kami juga berharap ini akan menjadi amal
jariyah kami semua nantinya.
Alhamdulillah, pembangunan sekolah dapat selesai sesuai rencana.
Meski masih jauh dari bangunan ideal sebuah sekolah tapi kami telah sangat
bersyukur. Di tahun pertama itu kami berhasil mendapat dua belas murid
setingkat taman kanak-kanak dan lima murid untuk tingkat sekolah dasar.
Meski jumlah murid belum sesuai dengan ketetapan diknas yang
menetapkan jumlah siswa minimal sepuluh tapi kami tetap melangkah. Kami yakin
ke depan dapat memperoleh murid yang lebih banyak.
Alhamdulillah menginjak tahun ke dua, bantuan dana yang dijanjikan
datang juga. Kami pun dapat melakukan perombakan. Bangunan sekolah yang asalnya
sangat sederhana berubah menjadi ideal. Setiap tahun murid yang mendaftar pun
semakin banyak. Sedikit demi sedikit impian mencerdaskan anak bangsa itu mulai menampakkan
kemajuan.
Keberhasilan ini sekali lagi membuktikan kebenaran akan janji
Allah. Man Jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh maka ia yang akan
berhasil. Tak lupa suami berterima kasih atas dukungan penuh yang selama ini
kuberikan. Di tengah cibiran, tekanan bahkan ancaman yang diberikan orang-orang
yang tidak suka dengan keberadaan sekolah itu.
Dengan dukungan serta semangat yang selalu siap untuk ditularkan dari dalam rumah, membuat suami senantiasa optimis mewujudkan mimpi. Halangan dan rintangan yang ditemuinya di luar sana menguap seketika tatkala kembali ke rumah. Tak salah bila kemudian ada ungkapan dibalik laki-laki sukses pasti terdapat wanita yang hebat.
Akupun bersyukur bisa memberi kontribusi dalam mewujudkan mimpi ini. Meski aku tak pernah tampil menunjukkan diri. Meski aku hanya berkiprah di balik layar.
***
Alif
“Ayo Lif, kamu kapan mendaftarnya?”
“Iya Lif, dua hari lagi kita udah
mulai belajar, lho”
“Ditunggu lho, Lif...”
Alif diberondong dengan beragam
pertanyaan begitu siswa kelas enam itu tiba di bangkunya. Rupanya kelima
sahabatnya telah menunggu kedatangan Alif sedari tadi.
Biasanya memang Alif yang datang
terlebih dahulu karena rumahnya paling dekat dengan sekolah. Tapi kali ini Alif
datang terlambat.
Keenam sahabat itu telah lengkap
sudah. Ada Andika, Romi, Ihsan, Ilham dan Idrus. Berenam mereka bersahabat
sejak kelas satu. Mereka bisa kompak karena keenamnya suka sekali dengan
pelajaran sains dan matematika. Keenamnya pun sepakat untuk menjadi ilmuwan
jika dewasa nanti.
“Maaf teman-teman, sepertinya aku
gak bisa ikut ....” ucap Alif lirih.
“Kalau kamu gak ikut itu namanya gak
kompak dong...” celutuk Idrus.
“Ada apa, sih? Minggu lalu kita
semua sudah sepakat untuk ikut les di Cendekia. Mengapa kamu sekarang berubah?”
Alif terdiam. Sebenarnya ia tidak ingin mengingkari kesepakatan yang sudah mereka buat minggu lalu. Alif pun sangat ingin ikut les yang diadakan Lembaga bimbingan belajar Cendekia. Sebuah lembaga bimbingan belajar yang terkenal di kotanya.
Sebenarnya Alif dan para sahabatnya tergolong anak yang pandai. Sejak kelas satu rangking mereka tak pernah keluar dari peringkat sepuluh besar. Hanya posisi mereka saja yang kadang bergantian. Tapi banyaknya ujian yang harus mereka hadapi membuat enam sahabat itu mulai khawatir. Mulai dari beberapa ulangan harian, ujian akhir semester, ujian sekolah hingga yang terbesar yaitu ujian nasional. Semua ujian ini tentu saja membuat Alif dan sahabatnya senewen, tegang bahkan nyaris stres. Ditambah lagi dengan tayangan televisi dan koran yang selalu menampilkan berita tentang ketatnya ujian nasional. Mereka melihat banyaknya siswa yang tidak lulus dan kemudian stress karenanya. Mereka tak mau bernasib seperti itu. Mereka semua ingin lulus dan kembali melanjutkan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi.
Beberapa bulan sebelum ujian
nasional salah seorang kakak tentor dari bimbingan belajar cendekia berkunjung
ke sekolah. Kakak itu mempromosikan lembaganya. Banyak yang kemudian tertarik
untuk ikut les di sana termasuk Alif dan kelima sahabatnya.
Sayangnya ketika Alif memperlihatkan
brosur dari lembaga bimbingan belajar itu ke ibu, ibu menolaknya dengan halus.
Menurut ibu, Alif tak perlu ikut les di sana. Lagipula di sekolah sudah ada les
yang diadakan oleh bapak dan ibu guru. Alif cukup ikut les itu saja.
Waktu itu Alif sangat kecewa. Ia merasa ibu tidak peduli padanya. Bukankah yang diminta Alif adalah sesuatu yang baik dan berguna untuk masa depannya.
Sejak itu setiap hari Alif merengek agar dibolehkan ikut les. Tapi Alif sangat menyesal kemudian. Pelan-pelan ibu menceritakan sesuatu yang ia tak pernah duga sebelumnya. Tentang keadaan keluarga yang tidak diketahuinya selama ini.
Ternyata sudah dua bulan ini bapak
menganggur. Perusahaan tempat bapak bekerja selama ini mendadak bangkrut
sehingga harus memberhentikan semua karyawannya, termasuk bapak. Sejak itu
bapak kembali harus mencari pekerjaan baru.
Toko kelontong ibu yang selama ini
ikut membantu pemasukan keluarga belakangan juga sepi. Pembeli lebih suka
berbelanja di mini market yang berada tak jauh dari toko ibu. Mini market itu
memang lebih lengkap barang jualannya dan lebih nyaman karena full ac. Apalagi
harganya juga tak beda dengan took kelontong ibu.
Sebenarnya ibu memiliki tabungan. Tapi rencananya uang tabungan itu akan dipakai untuk biaya melanjutkan sekolah Alif dan Dini, adiknya. Alif akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMP sedangkan Dini akan melanjutkan sekolah ke SD. Untuk itu keduanya membutuhkan biaya yang tidak bisa dibilang sedikit.
Setelah mengetahui kondisi keluarga yang sebenarnya Alif pun memilih untuk tidak lagi mendesak ibu. Meski demikian, Alif tidak mau menceritakan hal ini pada para sahabatnya. Ini adalah urusan keluarga dan sahabatnya tidak perlu tahu.
*
Besok adalah hari pertama ujian nasional yang akan berlangsung selama tiga hari. Meski akhirnya Alif tidak jadi ikut les di Cendekia tapi ia telah melupakan kekecewaannya. Benar kata ibu, les di sekolah juga menyenangkan meski waktunya hanya tiga kali dalam sepekan.
“Istirahat dulu, Nak “ ucap ibu yang
telah berada di samping Alif. Ibu membawa sepiring ubi jalar rebus kesukaannya
lengkap dengan secangkir the hangat.
“Terima kasih, Bu” belakangan ini
ibu memang sangat perhatian. Sejak Alif disibukkan dengan persiapan menghadapi
ujian, ibupun disibukkan dengan menyiapkan makanan kesukaan Alif.
“Agar Alif tambah semangat
belajarnya” kata ibu waktu Alif menanyakan hal itu.
Perhatian ibu ini memang membuat
Alif semakin giat belajar. Alif tak ingin membuat orang tuanya, terutama ibu,
kecewa. Alif ingin orang tuanya bangga padanya. Selain itu Alif juga ingin
membuktikan kepada para sahabatnya bahwa ia juga bisa memperoleh nilai yang
bagus meski tidak ikut bimbel di Cendekia. Alif merasakan sikap mereka agak
berubah belakangan ini. Mereka menuduh Alif tidak kompak karena tak ikut bimbel
bersama. Mereka pun senantiasa bercerita tentang kelebihan bimbel Cendekia yang
mereka masuki. Selama ini mereka memang selalu kompak dalam hal apapun. Baru
kali ini Alif terpisah dari mereka. Dan mereka menjadi marah dan kecewa
karenanya.
Alif terpaksa menerima sikap para
sahabatnya itu. Meski ia merasa sendiri karenanya. Alif tidak mau terlalu memikirkan
hal itu karena ia hanya ingin focus belajar sebagai persiapan menghadapi ujian.
**
“Alif berangkat, Bu. Doa’akan Alif
lulus, ya...”
“Tentu saja, Nak. Do’a ibu selalu
untukmu”
Usai mencium tangan ibu dan meminta
do’anya, Alif pun bergegas ke sekolah. Hari ini adalah hari pengumuman
kelulusan. Sejak semalam Alif sangat gelisah dan tak sabar menunggu pagi tiba.
Ia ingin segera mengetahui kelulusannya.
“Assalamu alaikum, pengumumannya
sudah adakah?” Alif menanyai Arga, salah seorang temannya yang sedang duduk
sendiri di samping kelas.
“Belum ada. Kata Pak Arif sebentar
lagi hasilnya di tempel di papan pengumuman “ jawab Arga.
“Hei itu Pak Arif ” Alif menarik
tangan Arga. Ia melihat Pak Arif keluar dari ruang guru dengan membawa beberapa
lembar kertas. Alif menduga kertas itu adalah kertas pengumuman kelulusan
mereka.
Benar saja, di depan papan
pengumuman Pak Arif berhenti. Kertas yang dibawanya ditempelkan satu persatu.
Setelah selesai Pak Arif pun mundur dan membiarkan beberapa siswa kelas enam
yang ingin segera melihat hasilnya berdesakan.
“Pelan-pelan, Nak. Awas jangan
saling dorong!” Pak Arif memperingatkan siswanya yang saling mendorong.
Semuanya berebut ingin melihat hasilnya terlebih dahulu.
“Alhamdulillah, aku lulus”
“Aku juga lulus”
“Aku juga”
Pekik kegirangan ramai terdengar
kemudian. Bermacam cara dilakukan untuk menunjukkan kegembiraan mereka. Ada
yang melonjak kegirangan. Ada juga yang kemudian berangkulan dan saling memberi
selamat.
“Selamat ya, Lif. Kamu lulus bahkan
masuk lima besar”
Alif terkejut melihat Ilham dan
Idrus memberi selamat padanya. Ia tak menyangka sama sekali. Tapi Alif sangat
gembira karena keduanya kembali mau berbicara dengannya.
“Kalian juga selamat ya. Ilham, kamu
hebat tetap di nomor satu. Kamu juga hebat, Drus, hanya setingkat di bawahku”
Alif membalas pujian kedua sahabatnya itu.
“Hei, kalian. Selamat ya....kita
semua lulus...” teriak Andika, Romi dan Ihsan. Ketiga sahabat itu kemudian
berlari ke arah Alif, Ilham dan Idrus. Mereka kemudian saling berangkulan dan
saling mengucapkan selamat.
Diam-diam Alif menghapus air matanya
yang tiba-tiba saja jatuh. Hari ini ia merasa sangat bahagia. Kerja kerasnya
belajar selama beberapa bulan terakhir kini membuahkan hasil. Kelima sahabatnya
pun kembali mau berteman dengannya. Dan yang paling menggembirakan ialah ia
bisa membuat bangga orang tuanya
karena berhasil lulus bahkan
nilainya masuk lima besar tertinggi di sekolahnya.
***
Diary Emak Pelupa
Menulis
buku antologi merupakan hobi yang beberapa waktu lalu dengan penuh semangat
kugeluti. Alhamdulillah, sudah lahir puluhan buku antologi dengan berbagai
genre, baik untuk kalangan dewasa maupun anak-anak.
Nah,
salah satu antologi tersebut adalah buku ini yang berjudul Diary Emak Pelupa.
Buku ini sebenarnya bukanlah buku baru. Kalau tidak salah ingat, buku ini
diterbitkan pada Maret 2021 lalu dan diterbitkan oleh CV Future Business
Machine Solusindo.
Dalam
buku ini, saya menuliskan pengalaman saat menjalankan peran sebagai Emak di
negeri jiran, Malaysia. Kisah selengkapnya bisa disimak berikut ini.
Balada Beras
Haeriah Syamsuddin
“Astaghfirullah, beras habis!” seruku dari dapur. Saat
itu aku bersiap untuk memulai masak di dapur.
Duh,
bagaimana aku bisa melupakan benda yang sangat penting itu. Tanpa beras, seenak
apa pun hidangan yang kusajikan untuk makan malam, tentu takkan ada artinya.
“Beras
habis? Kita makan apa dong?” rupanya si kecil Hilyah mendengarkan seruanku.
Hilyah
memang ibarat bayangan, dia selalu ada di dekatku. Bahkan, terkadang aku tidak
sadar kalau makhluk kecil yang kini berumur 6 tahun itu telah berada di sisiku.
Saat aku berkeluh kesah, tiba-tiba saja celutukannya menghamburkan semua
imajinasiku.
“Beras
habis? Asyik, makan di luar lagi … ” kali ini si sulung yang berkomentar
disusul teriakan setuju dari saudara-saudaranya yang lain.
Ealah,
Nak, ini bukan ajang pemilihan ketua RT. Kok pada voting, sih.
“Aku
mau makan di Warung Tom Yam Marshima” kata si sulung.
“Aku
mau di Kambing Bakar Ghongzhu” kata si nomor dua.
“Aku mau di Warung Syakeela” kata si nomor tiga.
“Aku ikut di Marshima” kata si nomor empat.
“Aku ikut di Ghongzhu!” kata si nomor lima.
Satu
per satu anakku menyebutkan pilihan mereka. Semuanya adalah warung makan yang
biasa kami datangi. Maklum, selama menetap di Malaysia, kami ikut
“terkontaminasi” dengan kebiasaan orang Malaysia yang senang makan di luar. Ya,
masyarakat di sini memang sering kali menghabiskan waktunya di warung makan.
Tak heran, warung makan selalu terlihat penuh, terutama di jam-jam makan.
“Ini
ada apa kok ribut-ribut?” seperti biasa, suamiku selalu telat meng-up date
situasi di rumah. Kesibukannya di kantor, yang sering dibawanya berlanjut di
rumah, membuatnya harus berkonsentrasi penuh menyelesaikan semua pekerjaan itu.
Dengan
cepat Hilyah menjelaskan apa yang terjadi. Meski paling kecil, ia selalu merasa
paling tahu kondisi di rumah. Maklum, aku dan Hilyah lebih sering berada di
rumah karena suami dan anak-anakku yang lain setiap pagi beraktivitas di luar
pagi hingga sore hari.
“Ya
udah, kita makan di luar aja.” Putus suamiku kemudian yang langsung disambut gembira
oleh kelima anakku.
Hore!!!!!
*
Besoknya, suami mengajakku
berbelanja ke supermarket langganan kami. Kebetulan, saat itu hari libur
sehingga anak-anak bisa diajak sekalian. Kami senang berbelanja di sini karena
selain harganya lebih murah dibanding tempat lain, di sini juga sering kali
menawarkan diskon untuk barang-barang tertentu. Namanya juga emak-emak,
pastinya suka dengan diskonan. Namun, tidak hanya itu, barang-barang di
supermarket ini juga lebih lengkap disbanding tempat lain. Kami pun bisa
sekalian one stop shopping di tempat ini.
“Yah,
catatan belanjanya kelupaan, padahal tadi Ummi taruh di atas meja biar gampang ngambilnya!”
seruku di tengah perjalanan. Duh, kok bisa lupa sih, padahal tadi aku sudah menuliskan
semua kebutuhan rumah tangga yang akan dibeli.
“Jadi
bagaimana? Kita kembali untuk mengambil catatan itu?” tanya suamiku sembari melambatkan
laju mobil.
“Hm,
kayaknya gak usah deh. Insya Allah, Ummi ingat semuanya. Kan, Ummi yang catat tadi.
Lagian, supermarketnya sudah di depan mata.”
“Jangan
khawatir, Ummi. Nanti, Hilyah bantu ingatkan.” celutuk Hilyah dari belakang.
Tuh, kan, bayangan kecilku kembali menyelutuk. Hihihi.
Berbekal
ingatan, aku mulai mengambil satu per satu barang kebutuhan yang stoknya habis
atau mulai menipis. Sementara itu, suami dan anak-anakku berpencar mencari kebutuhannya
masing-masing. Biasanya sih, pilihan mereka tidak jauh dari cemilan ini dan
itu. Meski anak-anak bebas mengambil apa pun, tetap saja nanti pilihan mereka
akan kami sortir. Maklum, anak-anak suka ngasal ngambilnya, padahal jajanan
tersebut belum tentu sehat.
Alhamdulillah, acara belanja hari ini berjalan lancar, meski ada yang kurang puas karena cemilan pilihannya kena sortir. Namun, biasanya hal itu berlangsung tidak lama. Sampai rumah, anak-anak biasanya sudah lupa dengan kekesalannya.
Sementara itu, aku sudah
merencanakan jenis makanan yang akan kupersembahkan untuk makan siang hari ini.
Kebetulan, tadi aku membeli beberapa ekor ketam. Ketam adalah makanan kesukaan
kami sekeluarga. Lagipula, sudah lama rasanya suami dan anak-anak tidak
menikmati sajian kepiting tumis santan, kesukaan mereka. Hm, pastinya
orang-orang terkasih itu akan makan dengan lahap. Terlebih, bila ketam tersebut
disajikan dengan sepiring nasi hangat.
“Ups,
nasi hangat?”
“Astaghfirullah,
aku lupa membeli beras!” seruku tertahan, tetapi bisa didengar oleh seluruh
yang ada di dalam mobil.
“Astaghfirullah,
aku lupa mengingatkan Ummi!” balas Hilyah juga tertahan.
Mendadak kurasakan mobil melaju lebih
pelan.
“Kok, bisa lupa, sih?” Suamiku
terlihat kesal. Bagaimana tidak, supermarket yang tadi kami datangi sudah
tertinggal jauh di belakang. Tinggal satu belokan lagi, kami sudah tiba di rumah.
Aku
menjawab. Huhuhu, semua ini pasti gara-gara aku lupa membawa catatan yang
sebelumnya telah kupersiapkan
sehingga semua jadi berantakan begini. Duh, aku kok pelupa banget, sih?
“Hah,
lupa beli beras? Masa makan di luar lagi? Bosan, aku kangen masakan Ummi!” celoteh
anak-anakku menanggapi apa yang terjadi.
Hikz,
ucapan anak-anakku membuatku terharu sekaligus merasa sangat bersalah. Meski tak
piawai memasak, Alhamdulillah, anak-anak selalu suka dengan masakan yang
kusajikan.
Dan,
aku tak banyak bicara ketika suami kemudian melewati perumahan kami. Aku tahu, suami
akan ke minimarket yang berada di ujung jalan sana. Harganya memang sedikit
lebih mahal, tetapi itulah opsi terbaik daripada harus kembali ke supermarket
tadi.
“Ingat,
beli beras. Be Ee eR Aa Ss, BERAS!” suami mengingatkan kembali sebelum aku masuk
ke minimarket itu.
Hikz.
***
Profil Penulis
Haeriah Syamsuddin adalah seorang
IRT dengan 5 orang anak yang lucu dan cerdas. Saat ini, penulis bermukim di
Terengganu, Malaysia. Penulis telah menyukai dunia literasi sejak kecil dan
saat ini telah menghasilkan beberapa buku, aktif sebagai blogger, dan menulis
di beberapa media online serta tercatat sebagai kontributor tetap sebuah
majalah dakwah.
Serba-Serbi Mudik Menegangkan
Buku antologi serie mudik ini menceritakan kisah kami sekeluarga saat masih menetap di sebuah kota kecil yang ada di Sulawesi Selatan, Kota Palopo namanya. Kisah ini terjadi saat anak kami baru 3 orang.
Series Mudik ini sendiri terdiri dari 2 seri dan tulisan saya dimuat di seri pertama. Mudik memang merupakan salah satu hal yang paling menyenangkan bagi para perantau adalah bisa pulang kampung dan merayakan lebaran bareng keluarga besar di sana. Ini pulalah yang senantiasa ditanyakan keluarga besar kami setiap kali kami harus kembali ke perantauan....
"Lebaran nanti pulang kan......"
"Mau...mau bangets...tapi......"
Inilah ceritanya ....
Senangnya bisa kembali mudik tahun ini. Mulanya kupikir hari raya tahun ini akan kami rayakan di daerah tugas suami karena kesibukan suami yang seperti tak ada habisnya. Ternyata kesibukan itu bisa diselesaikan sesaat sebelum hari raya tiba. Suami kemudian memutuskan untuk mudik tepat di hari raya. Meski tak mendapatkan hari raya pertama bersama keluarga besar tapi setidaknya suasana lebaran masih terasa, keluarga besar yang dari daerah lain juga masih berkumpul.
Keesokan harinya, usai shalat ied serta bersilaturrahmi ke beberapa rumah orang yang kami tuakan, kami pun bergegas pulang untuk segera menyiapkan keperluan mudik. Aku yang selalu kebagian tugas packing untungnya telah terbiasa bekerja secara mendadak. Tanpa kesulitan berarti dua buah tas besar,sebuah tas berukuran sedang dan beberapa kardus bekas mie instant berisi hasil bumi pemberian teman kami bawa sebagai oleh-oleh telah siap untuk dibawa.
Malamnya kami sekeluarga telah bersiap untuk berangkat. Selama ini kami selalu memilih perjalanan malam. Dengan demikian, anak-anak bisa tidur dengan tenang tanpa diganggu rasa panas dan bosan. Maklum, jarak yang akan kami tempuh sekitar 400 kilometer yang biasanya memakan waktu sekitar sembilan jam.
Setelah semua dirasa cukup, kami pun segera meninggalkan rumah.Dengan ditemani beberapa orang kawan suami, kami diantar keluar menuju jalan propinsi yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat kediaman kami. Di sanalah rencananya kami akan menunggu bis yang biasanya melewati jalan tersebut menuju kota kelahiran kami.
Cukup lama kami menunggu bis yang lewat. Aku dan ketiga anakku
menunggu di depan sebuah gudang beras sementara suamiku menunggu di pinggir
jalan untuk mencegat bis yang lewat. Beberapa orang kulihat juga
melakukan hal yang sama. Menunggu bis di pinggir jalan ketimbang mengambil di
terminal.
Mungkin alasan mereka sama dengan kami. Memilih tak mengambil bis di terminal selain karena jarak terminal cukup jauh harganya pun standard.Sementara bila menunggu di pinggir jalan maka kami tak perlu repot ke terminal terlebih dahulu dan juga dari segi harga lebih murah karena bisa menego dengan supir dan kernet.
Sayangnya setelah beberapa lama menunggu, bis yang kami harapkan
tak kunjung datang. Beberapa bis yang lewat ternyata telah penuh sehingga tak
ada yang berhenti untuk mengambil kami. Ternyata kami salah perhitungan,
jumlah penumpang mudik tetap membludak meski kami telah memilih hari tepat di
hari raya. Kami pikir, hari ini jumlah penumpang berkurang karena hari raya
telah lewat dan mereka belum saatnya balik.
Entah berapa lama kami menunggu.Alhamdulillah anak-anakku tergolong anak yang sangat mudah menyesuaikan diri. Mereka bisa enjoy di mana saja termasuk saat berada di pinggir jalan seperti saat ini. Kedua anakku yang salah satunya masih balita itu malah terlihat menikmati suasana malam.Mereka tak henti-hentinya becanda dan sesekali berkejar-kejaran.Tentu saja kami terus mengingatkan agar mereka tak lari menuju ke jalan.
Sementara bayi kecilku justru pulas berada di balik kerudung lebarku.Hembusan angin malam tak mengusiknya malah beberapa kali aku harus mengusap keringat muncul di dahinya.Sesekali aku mengeluarkannya agar ia tak sesak berada di tempat pengap.
Ternyata bukan anak-anak yang kemudian merasa jenuh menunggu
seperti ini justru aku yang merasa bosan.Suami yang berdiri di tepi
jalan pun kulihat sudah gelisah dari tadi.Sepertinya ia juga mulai
bosan sepertiku. Beberapa kali ia menoleh ke arah kami untuk meminta
kesabaran kami.
Saat itulah sebuah mobil angkutan pedesaan jenis MPV kulihat menghampiri
suamiku.Sepertinya sang supir sedang menawarkan mobilnya untuk kami pakai
mudik. Setelah berbicara beberapa lama, suami kemudian menghampiriku dan
meminta pendapatku apa masih ingin menunggu bis yang belum tentu datangnya atau
memutuskan untuk menggunakan kendaraan ini saja.
Kami berembuk sejenak.Rasanya kami tak punya pilihan lain saat itu. Menunggu bis yang masih menyisakan kursi penumpang rasanya semakin mustahil apalagi malam bertambah larut. Sementara memilih mobil MPV ini juga bukan pilihan menyenangkan, selain karena kurang nyaman biasanya supirnya juga ugal-ugalan.
Akhirnya kami memilih opsi yang kedua. Sepertinya pilihan itu yang terbaik saat ini. Tak lama berselang kami telah berada di dalamnya bersama para penumpang yang lain. Sebelumnya suami telah membooking tempat duduk di “bagian kelas”, istilah yang diberikan untuk tempat duduk memanjang yang berada di tengah, agar kami bisa sedikit merasa nyaman.
Pelan-pelan mobil mulai meninggalkan tempat kami menunggu sedari
tadi.Kedua anakku seperti biasa berebut tempat duduk, mencari posisi yang
mereka rasa nyaman.Semuanya ingin duduk dekat jendela agar bisa menikmati angin
yang berhembus kencang.Maklum, mobil yang kami tumpangi tidak difasilitasi
dengan AC sehingga hawa terasa cukup panas.
Tentu saja kami tak mengabulkan permintaan mereka.Untungnya
anak-anak mau mengerti,sebagai gantinya aku menawarkan bekal yang kubawa.
Keduanya pun kini tenang sambil menikmati snack kesukaan mereka.
Alhamdulillah setelah merasa kenyang dan ngantuk, kedua anakku
kemudian tertidur.Sementara si kecil sejak tadi anteng dalam
gendonganku,mungkin guncangan mobil dirasa seperti sedang diayun.
Setelah anak-anak nyaman dalam tidurnya, tinggallah aku dan suami yang justru tidak bisa tidur. Seperti yang kami duga, mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali kami hampir terpental ke depan gara-gara supir menginjak rem secara mendadak.Himbauan kami agar supir membawa mobil lebih pelan hanya diikuti sesaat karena tak lama kemudian mobil kembali ngebut.
Untungnya anak-anakku tetap nyenyak dalam tidurnya. Untuk meredam
kecemasan, sepanjang jalan aku tak henti-hentinya berdzikir memohon
perlindungan agar kami bisa tiba dengan selamat.
Ternyata bukan hanya itu “kejutan” yang diberikan supir. Saat jarak perjalanan tersisa sepertiga tiba-tiba sang supir menghentikan mobil di pinggir hutan yang gelap dan sunyi. Mulanya kupikir mobil mengalami kerusakan.Tapi ternyata aku keliru, rupanya sang supir merasa sangat mengantuk sehingga memutuskan untuk tidur terlebih dahulu.
Entah apa yang ada dalam pikiran sang supir sehingga nekad berhenti di tempat seperti ini. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang jahat yang kemudian merampok kami?Apalagi saat ini sedang marak mobil maupun bis antar propinsi yang dirampok ditengah jalan.Kalau mau tidur, kan bisa memilih tempat yang ramai sehingga lebih aman.
Tapi semua protesku hanya bisa kusampaikan pada suamiku. Menurut suamiku, biarlah dia beristirahat daripada membawa mobil dalam keadaan mengantuk.Tentu akibatnya bisa lebih fatal.
Menyadari mobil tak lagi bergerak, satu persatu anakku mulai bangun. Mereka mulai gelisah dan merasa tak nyaman karena hawa panas dan sempitnya ruang gerak. Tiba-tiba bayi mungilku menangis kencang, segala upayaku tak juga berhasil membuatnya diam. Suaranya yang melengking tentu saja sangat menganggu.
Salah satu yang merasa terganggu adalah pak supir yang sedang tidur dan tepat berada di bangku depanku. Akibatnya pak supir tidak bisa melanjutkan tidurnya.Untungnya, karena dengan begitu mobil kembali melaju meski aku agak ngeri karena sepertinya pak supir menjadi kesal karena tidurnya terganggu dan melampiaskannya dengan melajukan mobil lebih kencang.
Seiring dengan lajunya mobil, ketiga anakku kembali melanjutkan
tidurnya.Termasuk bayi mungilku yang kembali anteng dalam pangkuanku. Semilir
angin yang berhembus dari jendela mobil yang tidak rapat serta guncangan mobil
membuat mereka nyenyak kembali.
Tentu saja, aku tegang banget sepanjang sisa perjalanan ini. Kembali doa dan
dzikir dikencangin. Aduh Pak Supir, kayaknya dirimu enakan ikut balapan F1 aja
deh. Kemungkinan menangnya besar lho......
Alhamdulillah, Sesuai perkiraan, kami tiba tepat waktu dengan
selamat hingga di depan rumah mertua.Usai membereskan barang dan membayar
ongkos mobil kami pun segera masuk ke rumah yang sudah ramai dipadati oleh
saudara serta para keponakan. Alhamdulillah, kami tetap bisa merasakan suasana
lebaran meski harus berjibaku terlebih dahulu.Alhamdulillah ala kulli hal.
Sst, mau tahu cerita-cerita seru lainnya seputar mudik. Dapatkan di sini, di
buku ini....
Saat Lebih Nyaman dengan Berjilbab
Lebih Nyaman dengan Berhijab
merupakan salah satu tulisanku yang ada dalam buku antologi The
Miracle Of Hijab. Sesuai dengan judulnya, buku yang berisi kisah-kisah para
muslimah yang akhirnya memutuskan untuk berhijab, menutup aurat sebagaimana
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Berikut adalah kisah yang saya tuliskan di buku ini. Happy
Reading!
LEBIH NYAMAN DENGAN BERJILBAB
“Serius kamu mau berjilbab? Gak gampang, lho!” ucap Nana, salah seorang sahabatku dengan nada tak percaya. Berdua dengan Sari, sahabatku yang lain, mereka kini telah duduk tepat di hadapanku. Keduanya menatapku lekat-lekat usai mendengar penuturanku barusan.
Pagi itu aku baru saja tiba di kampus ketika keduanya langsung menggiringku ke ruangan kelas yang masih kosong. Di sana mereka menginterogasiku, mempertanyakan kembali keputusanku untuk berpakaian lebih syar’i. Suasana seakan di gedung DPR, saat para wakil rakyat itu meminta pertanggungjawaban aparat negara yang membuat satu keputusan yang menurut mereka tidak popular.
“Insya Allah, doa’kan aku istiqomah, ya … ” aku menjawab mantap. Kubalas tatapan mereka. Kuingin mereka tahu kalau keputusan yang kuambil itu bukan main-main.
Kemudian keduanya berbisik dengan serius. Aku tahu mereka tengah meragukanku. Aku tahu keputusanku memang bukanlah hal yang mudah tapi aku pun sadar, aku harus berubah.
Aku bisa memahami ketidakpercayaan mereka. Mengingat siapa diriku selama ini. Cewek super tomboy yang senantiasa berpakaian seadanya. Aku lebih suka berpakaian ala cowok. Cukup dengan kaos oblong,celana jeans dan bersandal jepit. Lebih praktis menurutku ketimbang harus berpenampilan feminim seperti kawan-kawan perempuanku yang lain.
Dari segi penampilanpun seadanya. Aku paling malas berdandan. Paling aku hanya memakai pelembab untuk melindungi wajahku karena kebanyakan aktivitasku outdoor. Rambutpun senantiasa dipotong pendek. Selain karena merasa lebih nyaman, mama dan tante senantiasa menjulukiku mirip Indian bila rambutku mulai sedikit melewati bahu.
Akibatnya, di kampus aku sering diledek bila musim ujian tiba. Kampus kami mewajibkan mahasiswinya mengenakan rok di saat ujian. Kalau sudah begitu aku terpaksa mengenakan simpanan rokku satu-satunya. Rok hitam lipit yang sebelumnya milik adikku yang sudah tidak terpakai lagi.
“Lha, ternyata kamu cewek, toh?” goda kawan-kawanku bila melihatku tampil dengan rok tersebut.
Aku hanya bisa tersenyum kecut diledek seperti itu. Mereka menggodaku seperti itu karena kami memang telah terbiasa untuk saling meledek bila menemukan hal yang sedikit lain dari biasanya.
Tapi tentu saja keputusanku untuk berpakaian lebih syar’i tidak datang begitu saja. Semuanya melalui proses dan pergulatan batin. Aku pun tahu dan sadar sepenuhnya resiko apa yang akan aku hadapi sehubungan dengan perubahanku nantinya.
Semuanya bermula dari semakin intensnya aku bergaul dengan para akhwaat, ikut pengajian serta sharing berbagai hal dengan mereka. Hal ini yang kemudian banyak mempengaruhiku. Aku mulai memperhatikan agamaku, sesuatu yang selama ini tidak terlalu kupahami meski agama ini telah kuanut sejak lahir. Aku pun sadar untuk lebih banyak lagi belajar karena ternyata pengetahuan keagamaanku sangatlah sedikit.
Berbekal ilmu yang telah kuketahui, tentu saja tak cukup hanya sekadar dipelajari tanpa diamalkan. Maka mulailah aku mengaplikasikan ilmu yang kuperoleh itu terutama untuk diriku sendiri.
Untuk itu aku sudah mempersiapkan segalanya. Mulai dari fisik maupun mental. Dimulai dari mempersiapkan pakaian yang berbeda dari biasanya. Yah, aku ingin total berubah tidak setengah-setengah. Pakaian ala cowok akan kuganti dengan busana muslimah syar’i. Gamis panjang yang dipadu dengan jilbab lebar dengan panjang menutupi dada.
Alhamdulillah, semua faktor pendukung itu telah tersedia. Kini, tak ada lagi alasan untuk tidak segera berubah menjadi lebih baik. Tanpa mengeluarkan sepeser uangpun aku bisa mendapatkan busana syar’i tersebut. Beberapa orang teman yang mendukung perubahanku kemudian menghadiahkan busana syar’i mereka. Tentu saja aku sangat berterima kasih karena pemberian itu sangat bermanfaat. Terlebih saat itu aku tak bisa membeli pakaian syar’i itu karena keterbatasan dana.
Pertama kali mengenakan busana syar’i itu aku merasa sangat canggung. Setiap kali angin bertiup agak kencang aku akan langsung memegang gamisku serta ujung jilbabku erat-erat. Aku takut keduanya akan terangkat naik karenanya. Belum lagi, beberapa kali aku hampir terjatuh karena menginjak bagian bawah gamisku.
Teman-teman yang melihatku pun terbagi dua. Yang mendukung, memberikan ucapan selamat dan berdo’a agar aku bisa tetap istiqomah dengan perubahanku. Sedang yang lainnya malah mencibir. Mereka menudingku sok suci, sok alim dan berbagai tuduhan lainnya.
Alhamdulillah, semua telah kuantisipasi sebelumnya. Apalagi aku memiliki teman-teman yang senantiasa mendukungku. Mereka menguatkanku, termasuk dua orang sahabatku, meski mereka belum bisa berhijrah sepertiku.
Satu lagi yang kusyukuri dengan perubahanku itu ialah timbulnya perasaan aman dan tenteram dengan berbusana seperti ini. Dalam balutan busana syar’i aku tidak lagi menarik hati para cowok iseng yang biasanya senang menggoda. Sesekali memang masih ada yang iseng tapi sudah sebanyak dulu lagi. Itupun paling hanya iseng mengucapkan salam, tidak lebih.
Yang paling sering adalah menjawab pertanyaan ibu-bu yang kebetulan satu angkot denganku. Biasanya aku memang naik angkot kalau ke tempat kajian. Kebanyakan mereka bertanya dengan nada nyinyir meski ada juga yang bertanya karena penasaran.
“Duh, panasnya. Kamu kok tahan sih pakai pakaian seperti itu saat panas begini” kira-kira seperti itu pertanyaan mereka.
Biasanya aku menjawab dengan santai. Aku katakan saja kalau neraka Allah lebih panas ketimbang hawa siang hari di angkot. Atau kalau yang bertanya itu serius maka aku jawab juga dengan serius. Aku katakan semua ini adalah perintah Allah dan sebagai hamba-Nya kita hanya bisa taat dan patuh pada semua perintah tersebut.
Ternyata tanpa aku sadari, busana syar’i yang kukenakan adalah bagian dari dakwah islam itu sendiri. Aku bisa berdakwah di jalan, di angkot, di kampus bahkan dimanapun aku berada tanpa perlu banyak bicara.
Karenanya, aku juga senantiasa berusaha memperbaiki sikapku. Sebisa mungkin aku menyebarkan salam, menyapa para muslimah yang kutemui. Tak semuanya membalas salamku memang tapi setidaknya aku ingin mereka tahu kalau stigma bahwa muslimah yang dalam balutan busana syar’i adalah sombong dan menganggap hanya dirinya yang suci adalah tidak benar sama sekali. Kalaupun ada yang seperti itu, biasanya kembali ke pribadi masing-masing karena ajaran Islam sendiri tidak mengajarkan yang seperti itu.
Alhamdulillah, tak terasa sudah hampir lima belas tahun aku
mengenakan busana syar’i ini. Semoga aku senantiasa istiqomah
mengenakannya hingga maut menjemput. Aamiin ya Rabbal Alamin.

















.jpg)

